Senin, 04 Februari 2008

Pemberian Gelar Pahlawan Untuk HM Soeharto

Mbak Tutut menyambut baik bantuan GOLKAR pada Bapak Soeharto

Jakarta (ANTARA News) - Putri sulung almarhum mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab dipanggil Mbak Tutut, menyampaikan penghargaan sekaligus terima kasih kepada DPP Partai Golkar atas berbagai perhatian selama ayahnya dirawat di RSPP Jakarta, hingga proses pemakaman di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jateng."Salam hangat juga dan ucapan terima kasih atas perhatian DPP Partai Golkar serta kampanye mengenai status Pak Harto oleh kader-kader Partai Golkar akhir-akhir ini," kata Tutut saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Rabu.Penghargaan khusus diberikan Mbak Tutut atas nama keluarga Soeharto kepada dua tokoh Partai Golkar yang dianggap paling serius memperjuangkan kejelasan status hukum bagi Pak Harto, yakni Ketua DPP Partai Golkar Theo L Sambuaga dan Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Rully Charul Azwar.Sebagaimana gencar diberitakan berbagai media, Fraksi Partai Golkar di DPR dipelopori ketuanya, Priyo Budi Santoso, terus mengupayakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.Sejumlah kader serta fungsionaris Partai Golkar, terus mengumandangkan proses `deponeering` (penghapusan) kasus-kasus Pak Harto.Mbak Tutut dalam kesempatan itu juga menyatakan siap untuk mulai bekerja dan mengabdi sebagai kader Partai Golkar untuk meneruskan cita-cita Soeharto dalam membangun bangsa, negara serta rakyat Indonesia tercinta."Sebagai kader (partai) saya siap menerima instruksi," katanya. (*)
Selesaikan Kasus Hukum Soeharto, Baru Diberi Gelar Pahlawan, Kata Gus DurJakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden Abdurahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur mengatakan kasus-kasus hukum yang melibatkan almarhum mantan Presiden Soeharto harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum diberikan penghargaan gelar pahlawan nasional."Selesaikan dulu soal hukumnya, masak langsung mau kasih penghargaan aja," kata Gus Dur di Jakarta, Kamis.Pernyataan Gus Dur tersebut diungkapkan ketika ditanya wartawan mengenai wacana pemberian penghargaan pahlawan nasional.Menurut Gus Dur, pemberian gelar pahlawan harus hati-hati dan bersih benar. Gus Dur mencontohkan mantan Presiden Soekarno maupun mantan Wapres Hatta memerlukan waktu yang lama untuk mendapat diberikan Pahlawan Nasional."Malah Bung Tomo tuh ngak kelar-kelar," kata Gus Dur.Gus Dur menjelaskan Indonesia merupakan negara hukum, sehingga semua persoalan harus diselesaikan melalui jalur hukum, termasuk persoalan-persoalan Soeharto.Selama kasus-kasusnya belum bisa diselesaikan secara hukum, maka lebih baik tidak diberikan penghargaan tersebut, imbuhnya."Lha ini kan karena pemerintah yang nggak tegas. Presiden Yudhoyono nggak tegas. Kalau mau diampuni, ampuni saja kalau tidak yaa tidak," kata Gus Dur. (*)

Mbak Tutut Sambut Baik Bantuan Golkar Kepada Pak Harto
JAKARTA--MI: Putri sulung almarhum mantan presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab dipanggil Mbak Tutut menyampaikan penghargaan sekaligus terima kasih kepada DPP Partai Golkar atas berbagai perhatian selama ayahnya dirawat di RSPP Jakarta, hingga proses pemakaman di Astana Giri Bangun, Karanganyar.
"Salam hangat juga dan ucapan terima kasih atas perhatian DPP Partai Golkar, serta kampanye mengenai status Pak Harto oleh kader-kader Partai Golkar akhir-akhir ini," kata Tutut di Jakarta, Rabu (30/1).
Penghargaan khusus diberikan Mbak Tutut atas nama keluarga Soeharto kepada dua tokoh Partai Golkar yang dianggap paling serius memperjuangkan kejelasan status hukum bagi Pak Harto, yakni Ketua DPP Partai Golkar Theo L Sambuaga dan Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Rully Charul Azwar.
Sebagaimana gencar diberitakan berbagai media, Fraksi Partai Golkar di DPR RI dipelopori ketuanya, Priyo Budi Santoso, terus mengupayakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Sejumlah kader serta fungsionaris Partai Golkar, terus mengumandangkan proses deponeering (penghapusan) kasus-kasus Pak Harto.
Mbak Tutut dalam kesempatan itu juga menyatakan siap untuk mulai bekerja dan mengabdi sebagai kader Partai Golkar untuk meneruskan cita-cita Soeharto dalam membangun bangsa, negara serta rakyat Indonesia tercinta. "Sebagai kader (partai) saya siap menerima instruksi," katanya. (Ant/OL-2)


KPR '98 Tolak Gelar Pahlawan untuk Pak Harto
Penulis: Hillarius U Gani
JAKARTA--MI: Komite Pemurnian Reformasi (KPR) 98 menolak rancana pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto.
Penolakan tersebut disampaikan saat beraudensi dengan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/2).
KPR merupakan gabungan berbagai elemen masyarakat anrata lain YLBHI, LBH Jakarta, Republik Mimpi, Setara Institut, Kontras, Elsam, PBHI, Walhi, seniman, serta perwakilan korban Orde Baru (Orba).
Dalam pernyataan sikap bersama yang dibacakan Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M Zen, KPR menilai usulan pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto melecehkan amanat reformasi, terutama amanat rakyat yang tertuang dalam Tap MPR No 11/MPR/1998 tentang pemberantasan KKN termasuk terhadap Soeharto dan kroni-kroninya.
Mereka juga meminta media massa bersikap adil dan berimbang, tidak hanya mengangkat sisi positif selama masa pemerintahan Pak Harto, tapi juga harus mengungkap sisi negatifnya.
"Media massa adalah representasi semua kepentingan masyarakat. Karena itu para korban pemerintahan Orba juga harus diberi tempat yang sama dengan pihak yang menikmati keuntungan dari Orba," tegas Patra.
Menanggapi tuntutan tersebut, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan Tap MPR No 11/1998 tidak akan dicabut selama amanat tap tersebut belum dilaksanakan secara utuh.
"Kalau tap itu belum dilaksanakan sebagai mana mestinya, maka tidak akan dicabut," kata Hidayat.
Sementara Adnan Buyung Nasution berjanji akan menyampaikan aspirasi KPR itu kepada Presiden. (Hil/OL-06)
Presiden Didesak Segera Putuskan Kasus Soeharto
Penulis: Markus Junianto Sihaloho
JAKARTA--MI: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didesak segera menentukan sikap atas kasus hukum almarhum mantan Presiden Soeharto sehingga tak menjadi polemik berkepanjangan.
Demikian pernyataan sikap Ormas Angkatan Muda Soeharto Indonesia (AMSI) yang disampaikan ketua umumnya Sam Tuheteru dalam konperensi pers di Jakarta, Kamis (31/1).
"Tindakan tegas Presiden akan mengamankan stabilitas nasional sehingga setiap orang bisa berkonsentrasi mengatasi masalah bangsa, bukan hanya masalah Pak Harto. AMSI akan menyiapkan aksi 20 ribu orang dalam waktu dekat," tegas Sam.
Sam melanjutkan pemerintah harusnya bijaksana membangun bangsa sesuai dengan keinginan masyarakat. Padahal di tataran akar rumput, ujar dia, AMSI menilai opini yang muncul tak pernah menghendaki Soeharto diadili. Menurutnya, rakyat masih menilai semasa kepemimpinan Soeharto situasi lebih baik dimana tidak pernah ada instabilitas keamanan dan ekonomi.
Karena itu, lanjut dia, sudah sepantasnya Soeharto diganjar dengan gelar pahlawan nasional. "Tetapi ada skenario yang menghendaki negara kisruh karena masalah Pak Harto, dengan kepentingan yang tak jelas dan tanpa solusi yang pasti. Maka aksi kami juga ingin agar Pemerintah segera merehabilitasi nama Soeharto dan keluarganya," ujar dia.
Ia menambahkan semua persoalan yang terjadi di negeri, termasuk kasus Soeharto, sebaiknya diselesaikan secara hukum dan tanpa tekanan-tekanan berupa opini publik. Memang dalam alam demokrasi, menurut Sam, berbeda pendapat adalah hal yang sah.
Namun dia mengingatkan hujatan serta opini yang mengarah pada mendorong instabiltas bukan cara yang baik untuk menyelesaikan persoalan.
Sementara itu Ketua Pedoman Indonesia, Fadjroel Rachman menilai aktivis anti-Soeharto dan Orde Baru akan bergerak juga melawan pamer kekuatan Soehartois dan Orbais. Menurut dia, saat ini hanya tersisa dua pilihan bagi Indonesia, yakni Republik Anti Soeharto atau Republik Pro Soeharto.
"Kami akan habis-habisan membela Republik Anti Soeharto, mempertahankan reformasi dan demokrasi. AMSI jelas-jelas membela Republik Pro Soeharto, kami akan melawannya," tegas Fadjroel saat dihubungi. (Mjs/OL-06)
Prioritaskan Selamatkan Harta Negara
Penulis: Muhammad Fauzi
JAKARTA--MI: Dalam kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto, pemerintah hanya memprioritaskan pengembalian harta negara dan bukan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden kedua RI tersebut.
"Tugas kewajiban pemerintah saat ini yang menjadi prioritas adalah apa yang menjadi milik harta negara harus kembali ke negara," tegas Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng kepada wartawan, di Istana Negara, Rabu (30/1).
Dikatakan Andi, usulan dan wacana pemberian gelar pahlawan atau gelar kehormatan apapun bagi almarhum Soeharto didengar dan dibacanya dari media massa.
Begitupun dengan usulan untuk memaafkan dan mengadili mantan penguasa orde baru tersebut.
"Indonesia sekarang negara demokrasi boleh membuat usulan ini, ada yang mengusulkan memaafkan, mengadili dan yang lainnya. Ini negara demokrasi dan pemerintah tidak berwacana," kata Andi.
Andi menegaskan, pemerintah tidak berwacana, yang boleh berwacana adalah pengamat, anggota dewan, anggota masyarakat atau media massa sendiri.
"Silakan mau berwacana, ini kan negara demokrasi usul ini itu boleh. tapi pemerintah tidak berwacana," tegasnya saat didesak soal tersebut.(Faw/OL-06)
belum Terima Pengajuan Penganugerahan Gelar Pahlawan kepada Pak Harto
Penulis: Cornelius Eko Susanto
JAKARTA--MI: Pemerintah berpendapat, wacana pemberian gelar pahlawan nasional pada mantan Presiden ke-2 RI HM Soeharto, tidak pantas diributkan pada saat ini, karena sarat mengundang kontroversi.
Namun, dilain pihak, pemerintah juga membuka peluang bagi setiap pihak untuk mengajukan gelar pemberian pahlawan pada Pak Harto melalui Kantor Kementerian Sekertariat Negara.
"Pemerintah membuka usulan (gelar pahlawan) dari siapa saja. Evaluasi akan dibahas oleh dewan atau badan tersendiri. Tetapi pada masa berkabung ini, saya rasa tidak pantas mengeluarkan pendapat yang emngundang kontroversi pada almarhum," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh di Jakarta, Rabu (30/1).
Pada kesempatan itu, dirinya mengingatkan, pemerintah bukanlah pihak yang bisa mengajukan gelar pahlawan pada individu. Tidak mungkin katanya, bila nantinya pemerintah yang menganugerahkan gelar sekaligus pula yang mengusulkan. Dikatakan, pemberian gelar harus dari masukan daerah, LSM, atau organisasi.
Mekanismenya, surat usulan pemberian gelar diajukan ke Setneg, kemudian akan dibahas oleh badan yang mengurusi soal pemberian gelar pahlawan nasional. Disinggung bahwa salah partai yakni Partai Golkar telah mengusulkan hal tersebut, Nuh mengatakan, hingga saat ini, usul gelar pahlawan nasional pada Pak Harto masih dalam bentuk perdebatan semata.
"Masalah ini saya rasa masih dalam bentuk perdebatan semata, pasalnya hingga saat ini, belum ada satupun pihak yang mengajukan surat usulan secara resmi ke pemerintah," jelasnya.
Terkait legalitas prosesi pemakaman dan instruksi berkabung yang diambil pemerintah. Dirinya mengatakan, Presiden Yudhoyono memang tidak mengeluarkan Keppres terkait pemakaman dan masa berkabung dengan wafatnya Pak Harto.
Hal itu lanjutnya, memang berbeda dengan saat pemakaman Presiden Pertama RI Soekarno. Ketika itu, selaku presiden mengeluarkan Keppres No 44 Tahun 1970 bagi pemakaman Bung Karno. Presiden memutuskan tidak mengeluarkan Keppres pasalnya, saat ini dasar hukumnya sudah ada dan jelas.
Yakni, UU No 7 tahun 1978 tentang pemakaman. Selain UU telah terbentuk, produk hukum turunannya juga telah lahir, yakni PP No 60 1990 perihal prosedur pamakaman presiden maupun wakil presiden.
"Karena semua telah ada, presiden tinggal menginstruksikan saja," ujarnya. (Tlc/OL-03)

Tutut: Maafkan Pak HartoSelasa, 29 Januari 2008, 09:30 WIB
Karang Anyar,
Putri sulung mantan Presiden Soeharto,Mbak Tutut meminta rakyat Indonesia memaafkan kesalahan ayahandanya selama hidup.
Permintaan ini disampaikan Mbak Tutut dalam sambutan pada upacara pemakaman Pak Harto di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah kemarin. ”Kami sadar bahwa bagaimanapun HM Soeharto adalah manusia biasa yang memiliki kelebihan dan kekurangan serta tidak luput dari kesalahan,”ujar Mbak Tutut. Saat menyampaikan sambutan, suara Mbak Tutut terdengar lirih karena menahan tangis. Namun, dia terus berusaha tegar. Dia membaca naskah sambutannya sambil sesekali mengusap air mata yang mengalir ke pipi. ”Harapan kami, jika almarhum telah melakukan kebaikan, kiranya Allah SWT menambahkan kebaikannya dan apabila pernah berbuat salah dan dosa, kiranya Allah mengampuninya,”ujar dia. Pak Harto,menurut Mbak Tutut, adalah seorang yang terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan telah ikut mengisi kemerdekaan melalui pembangunan. Di mata keluarga, Pak Harto merupakan sosok yang dikagumi serta menjadi guru dan teladan yang baik. ”Bagi kami keluarga besar Soeharto,beliau adalah ayah, eyang, buyut, dan orangtua yang bijak yang sangat kami kagumi.Beliau adalah teman yang akrab yang sangat kami sayangi. Dia adalah guru dan teladan kami yang baik,yang amat kami hormati,”katanya. Menurutnya, sebelum wafat Pak Harto berpesan kepada keluarga agar jenazahnya dapat dimakamkan di Astana Giribangun, berdampingan dengan istri tercinta. ”Sesuai dengan pesan dan keinginan beliau, jenazah almarhum dikebumikan di tempat ini, di Astana Giribangun, berdampingan dengan istri tercinta beliau, almarhumah Siti Hartinah Soeharto,” jelasnya. Atas nama keluarga besar almarhum, Mbak Tutut mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan doa kepada almarhum Soeharto sejak masa perawatan di rumah sakit hingga pemakamannya, Senin (28/1) kemarin. Di akhir sambutannya, Mbak Tutut mengucapkan selamat jalan kepada ayahandanya tercinta dengan isak tangis yang berat dan ucapan yang terbata-bata. ”Bapak, selamat jalan Bapak. Doa kami selalu menyertai Bapak,” ujar Mbak Tutut menutup pidatonya,diiringi isak tangis keluarga besar Pak Harto yang berdiri di sekelilingnya. Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sambutannya mengatakan,Indonesia telah kehilangan putra terbaik bangsa, seorang pejuang setia, prajurit sejati, dan seorang negarawan terhormat. ”Kita hadir di pemakaman ini untuk memberikan penghormatan terakhir melalui upacara kenegaraan. Upacara ini kita selenggarakan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan dari negara dan pemerintah atas jasa, darma bakti, dan pengabdian almarhum terhadap negara dan bangsa semasa hidupnya,” ujar Presiden yang menjadi inspektur upacara dalam upacara pemakaman tersebut. Presiden mengatakan, pada masa pemerintahannya, yaitu sejak diangkat menjadi Presiden RI pada 7 Maret 1968,Pak Harto secara gigih memimpin pembangunan nasional yang tertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. ”Sejumlah prestasi dan keberhasilan telah dicapai oleh pemerintahan yang beliau pimpin.Yang pada hakikatnya mengantarkan bangsa Indonesia setapak demi setapak menjadi bangsa yang makin maju dan sejahtera,” tegas Presiden. Dengan jujur dan hati yang bersih, menurut Presiden, bangsa Indonesia patut mengakui begitu banyak jasa yang telah Pak Harto berikan pada bangsa dan negara.”Namun kita juga menyadari, sebagai manusia biasa dan layaknya pemimpin,almarhum tentu tidak luput dari kekhilafan dan kekurangan.Tidak ada umat manusia, hamba Allah yang sempurna di dunia ini,”ujarnya lirih. Dalam sambutannya,Presiden kembali meminta rakyat Indonesia mendoakan almarhum agar diterima di sisi allah SWT, sesuai dengan perjuangan, pengorbanan, dan amal ibadahnya. ”Akhirnya dengan memohon rida Allah SWT, marilah kita lepas kepergian almarhum menghadap Sang Khalik dengan tenang. Marilah pula kita panjatkan doa semoga Allah dapat menerima amal ibadahnya dan mengampuni segala dosa-dosanya.Selamat jalan Bapak Pembangunan. Semoga berada dengan tenang di sisi Allah SWT,”ujar Presiden SBY dengan suara bergetar menahan tangis. Menurut Ketua DPR Agung Laksono, almarhum merupakan putra terbaik bangsa yang seharusnya diberikan penghargaan atas jasa-jasanya. Persoalan perdata atau pidana yang sempat dialamatkan kepadanya sebaiknya tidak membuat masyarakat melupakan jasajasa Pak Harto. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di era Pak Harto, Moerdiono menanggapi positif sambutan Presiden. Menurutnya, anjuran yang disampaikan Presiden agar masyarakat menghormati Pak Harto cukup bijaksana. ”Keluarga mengucapkan terimakasih,”tuturnya.

Warisan Pemerintahan HM.Soeharto




Warisan pemerintahan Suharto

Mantan Presiden Suharto, yang tutup usia pada hari Minggu (27/01) di Jakarta pada usia 86 tahun, memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa. Pemerintah Suharto yang dia sebut Orde Baru menjadi pembangunan dan kemajuan ekonomi sebagai prioritas utamanya. Ini dilakukan dengan menerapkan gaya pemerintahan otoriter lewat kebijakan perampingan partai politik dan penerapan azas tunggal. Dalam pelaksanaannya, tindakan intimidasi, pemaksaan dan kekerasan dialami oleh orang-orang yang menentang Soeharto ketika itu. Masa pemerintahan Orde Baru juga dikecam atas kasus pelanggaran hak azazi manusia, pembelengguan pers dan hak mengeluarkan pendapat, dan demokrasi ditekan. Namun, di sisi lain perekonomian Indonesia semasa Suharto menikmati tingkat pertumbuhan yang menakjubkan sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan. Liberalisasi perdagangan dan investasi terbuka lebar. Perhatian besar juga diberikan pemerintah Suharto pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat terbawah. BBC Siaran Indonesia meninjau beberapa kebijakan penting yang menandai pemerintahan Suharto.


Kebijakan Suharto atas kelompok Islam

Pemerintah Suharto mengendalikan kehidupan politik secara ketat
Lambang dan jargon Islam semakin kerap muncul dalam berbagai perhelatan publik saat Suharto terlihat semakin akrab dengan sebagian kelompok Islam sejak awal tahun 1990-an.
Mereka yang diakrabi pak Harto itu termasuk para tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, ICMI.
Dan, kedekatan itu mencapai titik puncak saat Pak Harto memilih BJ Habibie untuk mengisi


kursi wakil presiden, kata pakar sejarah Anhar Gonggong dari Universitas Indonesia.
Menurut Anhar, kedekatan Suharto dengan ICMI terkait dengan keinginannya untuk menciptakan lingkungan intelektual Islam yang bisa mendukung dia.
Menjelang tahun 1990-an, ada sekelompok cendekiawan di Malang merintis pendirian ICMI.
"Kemudian, ditampilkan Habibie sebagai seorang tokoh yang seakan-akan mewakili cendekiawan Islam," kata Anhar.
"Dan, itu juga strategi Suharto untuk melakukan pendekatan kepada kekuatan Islam yang digambarkan seakan-akan kekuatan yang digambarkan sebagai kekuatan Islam...seakan-akan Islam mendukung dia," katanya

Ancaman
Tapi, seperti apa sebenarnya kebijakan politik Suharto terhadap Islam, selama memimpin Orde Baru?
Suharto ingin Habibie dan ICMI dilihat sebagai dukungan Islam
Menurut sejarawan, Anhar Gonggong sejak awal berkuasa Pak Harto cenderung melihat kalangan Islam sebagai ancaman bagi kekuasaan.
Setelah menjadi presiden, Suharto melancarkan sejumlah perubahan terkait dengan rencana pembangunannya dan menciptakan kestabilan.
"Terlihat di situ Suharto menciptakan kekuatannya sendiri, yaitu golkar dan tentara," kata Anhar.
Berikutnya Suharto menggelar pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971 dengan hasil Golkar (saat itu masih Sekber Golkar) keluar sebagai pemenang.
"Tetapi kekuatan Islam juga tetap kelihatan cukup besar, maka Suharto harus berusaha bagaimana caranya untuk mengeliminasi kekuatan Islam sebagai kekuatan politik, " jelas Anhar.
Pendapat Anhar Gonggong ini bertolak belakang dengan pandangan tokoh Eksponen 66, Cosmas Batubara.

'Keperluan politik'
Cosmas Batubara, yang pernah menjabat menteri dalam kabinet Pak Harto, mengatakan, kebijakan Pak Harto menyatukan partai-partai Islam ke dalam satu partai adalah untuk memenuhi keperluan politik pada saat itu.
Kita sudah menjadi korban pertarungan ideologi zaman Nasakom, zaman Sukarno, itu mau ditinggalkan, karena sudah bersepakat ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945

Cosmas BatubaraMantan menteri era Orba
"Kita sudah menjadi korban pertarungan ideologi zaman Nasakom, zaman Sukarno, itu mau ditinggalkan, karena sudah bersepakat ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945," kata Cosmas memberikan alasan kebijakan fusi tersebut.
Menurut Cosmas Batubara, sebenarnya dilihat dari aliran politik yang ada saat itu, "penyederhanaan itu menjawab kepentingan pembangunan pada saat itu".
Namun, pengamat politik Islam Syafii Anwar dari International Centre for Islam and Pluralism melihat kebijakan terhadap kelompok-kelompok Islam adalah bagian dari upaya Suharto memperkuat hegemoni kekuasannya.
Menurut Anwar, kebijakan Suharto terhadap kelompok-kelompok Islam mengikuti beberapa pembabakan. "Tahap pertama itu tahap yang sangat hegemonik sekali," katanya.
Anwar menggambarkan periode 1968-1979, Pak Harto menerapkan "kebijakan terhadap umat Islam yang sangat represif sekali", termasuk Undang-Undang Perkawinan dan fusi partai-partai Islam.
"Pokoknya, tekanannya itu adalah pada pemerkuatan rezim Orde Baru," kata Anwar.

Dampak kebijakan
Apapun alasannya, kebijakan represif Suharto mendatangkan dampak besar berkepanjangan bagi banyak aktivis dua organisasi Islam terkemuka Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

"Itu bahkan NU sendiri, kalau bisa Pak Harto ingin bukan NU yang memimpin...

KH Mustofa BisriTokoh senior NU
Menurut tokoh veteran NU, KH Mustofa Bisri, organisasinya sering menjadi bulan-bulanan rezim Suharto.
Mustofa Bisri menilai Pak Harto dan rezim Orba "fobi terhadap NU itu sangat luar biasa".
"Itu bahkan NU sendiri, kalau bisa Pak Harto ingin bukan NU yang memimpin," ujarnya.
Menurut Mustofa Bisri, intervensi Orba terhadap pemilihan pimpinan NU itu dimaksudkan "supaya (NU) tidak ada yang kuat atau memimpin".
Namun, bagi orang luar, tetap ada pertanyaan mengenai kebijakan pemerintahan Suharto terhadap NU yang sering dilihat sebagai organisasi "moderat".
Menurut Mustofa, kebijakan itu terkait dengan ketidakinginan Golkar, yang bersama tentara menjadi kekuatan utama yang tersisa pasca Sukarno, untuk melihat NU menjadi saingan.
Tidak hanya NU yang merasakan tekanan rezim Pak Harto seperti yang dituturkan KH Mustofa Bisri.

Pergantian kepemimpinan
Mantan ketua PP Muhammadiyah, Syafii Maarif harus menempuh berbagai jurus untuk bisa bertahan dari tangan kekuasaan pemerintahan Suharto, termasuk soal campur tangan dalam pemilihan pimpinan Muhammadiyah.

...Karena umatnya sudah hampir bulat mendukung Amien Rais, akhirnya Pak Harto tidak bisa berbuat apa-apa

Syafii MaarifTokoh senior Muhammadiyah
Syafii Maarif mencontohkan, waktu Muktamar Aceh 1995, sebenarnya Amin Raies dihalangi untuk dipilih untuk memimpin Muhammadiyah.
"Tetapi, karena umatnya sudah hampir bulat mendukung Amien Rais, akhirnya Pak Harto tidak bisa berbuat apa-apa," kata Syafii.
"Padahal, Anda tahu sudah sejak tahun 1993 Amien Rais, yang waktu itu belum menjadi ketua..sudah meluncurkan gerakan untuk perlunya pergantian kepemimpinan nasional," kata mantan ketua PP Muhammadiyah 1999-2004.
Terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial, Syafii mengatakan, "asal kita tidak memasuki politik, itu ya tenang-tenang saja".
'Banting stir'
Mengenai sikap Pak Harto yang sejak awal 1990-an berubah menjadi dekat dengan sebagian kalangan Islam, Syafii menilai "banting stir itu tidak tulus."
Kubu muslim menyiasati hegemoni dengan dakwah 'kultural'
Tokoh Muhammadiyah ini mencontohkan didirikannya ICMI dan berbagai bank muammalat.
"Sesungguhnya hanyalah dalam rangka mengukuhkan kekuasaannya penting, karena pihak tentara sudah mulai tidak senang lagi dengan dia, paling tidaknya beberapa oknum penting... dia mencari dukungan umat Islam," tandas Syafii.
Banting stir, seperti yang dikatakan Syafii Maarif dari Muhammadiyah, ditempuh sebagai pilihan terakhir Pak Harto.
Sebelum itu, saat masih sangat berkuasa, pimpinan Orde Baru itu telah menempuh berbagai strategi politik terhadap Islam di Indonesia, mulai dari represif, akomodatif, hingga politik kooptasi, kata pengamat politik Islam, Syafii Anwar.
Antara 1980-1984, demikian jelas Syafii Anwar, Pak Harto mulai merasa umat Islam akan melawan jika ditekan.
Untuk itu, Pak Harto mengubah kebijakan dengan memberikan sumbangan kepada masjid-masjid dan mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila setelah memberlakukan ketentuan Asas Tunggal Pancasila.
"Setelah merasa saya sudah memberikan bantuan kepada madrasah, kepada pesantren, ideologi kamu harus satu dong (Asas Tunggal Pancasila)," tutur Syafii.
Menurut Anwar, banyak warga masyarakat sebenarnya menolak kebijakan Pak Harto itu. "...Mereka melakukan dakwah yang kultural sebagai perlawanan terhadap hegemoni politik Suharto," ujarnya.
Berikutnya, Pak Suharto melihat umat Islam bisa dijadikan "teman" yang bisa diajak bekerjasama, tambah Syafii.

'Ahli Strategi'
Menurut Syafii Anwar, inilah yang melatarbelakangi hubungan dekat Pak Harto dengan pemuka ICMI.
Di situ dia kalah kalkulasi, karena dia fikir orang Islam bisa dikooptasi terus, tanpa bersikap kritis

Syafii Anwar Pengamat politik
"Dukungan Pak Harto terhadap ICMI itu luar biasa sekali. Politik yang mula-mula menjauhkan Islam dari negara, menjadi melekat dengan negara," katanya.
Namun, dia juga mencatat kebijakan akomodatif Pak Harto terhadap sebagian kelompok Islam itu belakangan berubah menjadi "politik kooptasi".
Menurut Syafii Anwar, perubahan kebijakan tersebut terhadap kalangan muslim merupakan bukti Pak Harto "ahli strategi yang hebat".
"Walaupun pada saat-saat terakhir, kalau mau orang mau fair (adil), kegagalan Pak Harto Itu karena krisis ekonomi," katanya.
"Di situ dia kalah kalkulasi, karena dia fikir orang Islam bisa dikooptasi terus, tanpa bersikap kritis," tambah pengamat politik Syafii Anwar.
Lepas dari berbagai jurus politik yang diperagakan, seperti dicatat Syafii Anwar, Pak Harto akhirnya lengser tahun 1998.
Jadi, bagaimana umat Islam akan mengenang pemerintahan Pak Harto? Jawabnya bergantung pada siap yang ditanya, kata KH Mustofa Bisri dari Nahdlatul Ulama.
Kalau ada pemerintahan atau penguasa tidak memihak, tidak mengayomi kepada rakyatnya, itu tidak Islami sama sekali....apalagi membelenggu rakyat," katanya

KH Mustofa Bisri Tokoh Nahdlatul Ulama (NU)
"Jangan dilihat hanya dari segi dagingnya (luarnya saja)," kata Mustofa Bisri
"Kalau persoalan bahwa ada banyak masjid dibangun, lalu itu baik dengan Islam. ....Itu mungkin orang Islam lain berpendapat begitu, kalau saya tidak," kata Mustofa yang juga dikenal sebagai sastrawan.
"Kalau ada pemerintahan atau penguasa tidak memihak, tidak mengayomi kepada rakyatnya, itu tidak Islami sama sekali....apalagi membelenggu rakyat," katanya.



Ekonomi di bawah Orde Baru

Kebjiakan ekonomi pada awal pemerintahan Suharto berhasil menekan inflasi yang sangat tinggi
Suharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden akibat fondasi ekonomi Indonesia ambruk diterjang krisis dan gelombang politik yang menghendaki perubahan.
Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi pada awal kepemimpinan jenderal purnawirawan ini pada tahun 1968.
Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama.
"Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun," kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.
Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal

Emil Salim
Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya.
Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Kembali ke halaman depan
'Terikat modal asing'
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.
Presiden Suharto menandatangi kesepakatan IMF beberapa bulan sebelum mundur di tahun 1998
Suharto menamai programnya 'Pembangunan Lima Tahun' atau PELITA, yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
"Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang," kata mantan menteri koordinator perekonomian Indonesia antar tahun 1999-2000.
Namun menurut Emil Salim, untuk menggerakkan pembangunan, Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980.
Kembali ke halaman depan
Kemajuan sektor migas
Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia.
"Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi," kata pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak.
Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang

Kwik Kian Gie, tentang kebijakan ekonomi Suharto
Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik.
Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.
Lebih lanjut, Emil Salim menilai, pendekatan seperti yang dilakukan Suharto pada awal pemerintahannya lazim dipraktekkan oleh para pemimpin di kawasan Asia Timur dan Tenggara.
"Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal," kata Emil Salim.
Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960
Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.
Kembali ke halaman depan
Titik balik
Masa keemasan ekonomi Orde Baru, kata Emil salim, mengalami titik balik ketika memasuki tahun 1990-an, saat BJ Habibie dengan visi teknololgi masuk merambah bidang ekonomi.
Suharto melepaskan jabatan setelah unjuk rasa besar-besaran tahun 1998
Tetapi, Kwik Kian Gie tidak sependapat dan dia menilai Habibie bukan faktor penting dalam titik balik ekonomi Orde Baru.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru terkesan begitu memukau," kata Kwik, namun menurutnya di sisi lain kesenjangan dan kemiskinan adalah akibat kebijakan ekonomi liberal.
Krisis moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan tuntutan reformasi total, dia anggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan tersebut yang diperburuk oleh situasi politik.
Namun, pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak mempunyai analisa berbeda tengan jatuhnya Suharto.
"Krisis ekonomi untuk sebagian orang memang bisa ditelusuri ke praktek kebijakan, bukan desain kebijakan di atas kertasnya," kata Djisman.
Pengamat ekonomi ini menilai pada prakteknya kebijakan pemerintahan Suharto sarat dengan berbagai penyelewengan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme pada kroni Suharto.
Pada saat yang bersamaan, rakyat menuntut suksesi politik. Dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjadi pemicu krisis politik yang sudah dipendam oleh rakyat, tambah Djisman Simandjuntak.
Kembali ke halaman depan





Antara persatuan dan penyeragaman

Orde Baru menggelar bermacam festival seni berskala nasional
Di zaman Orde Baru Suharto, ada Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau LKMD semacam perwakilan warga di tingkat desa yang diperkenalkan pada tahun 1979 di seluruh Indonesia.
Penyeragaman dan standarisasi lembaga desa itu, menurut laporan Bank Dunia tahun 2004, telah melemahkan lembaga tradisional masyarakat yang sudah ada di masing-masing desa.
Itulah salah satu contoh yang mengangkat pertanyakan apakah memang terjadi upaya penyeragaman budaya di bawah kepempinan Suharto?
Sitok Srengenge adalah seorang budayawan yang tinggal di Jakarta.
"Jawabannya mudah: Ada!" kata Sitok.
Menurut Sitok, hal itu bisa wajar jika dilihat dari sudut koridor kebudayaan. "Di mana pun, bangsa mana pun, apabila terdapat suku bangsa atau etnik yang dominan, dia selalu membawa nilainya dan mempengaruhi etnik-etnik yang lain," katanya.
Di mana pun, bangsa mana pun, apabila terdapat suku bangsa atau etnik yang dominan, dia selalu membawa nilainya dan mempengaruhi etnik-etnik yang lain

Sitok Srengenge Budayawan
"Tetapi, bila ini mulai sudah dipolitisir dan dipaksakan kepada etnik-etnik yang lain dalam wilayah yang sama, maka saya kira itu mendatangkan banyak kerugian secara kultural " tambahnya.
Sitok Srengenge, yang kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, juga berpendapat penyeragaman budaya juga terjadi lewat pelajaran sejarah.
"Bukan hanya sejarah raja-raja Jawa yang diajarkan di berbagai suku bangsa lainnya, tapi juga sudah terjadi manipulasi penafsiran atas sejarah itu," kata Sitok Srengenge, dengan mencontohkan "pengukuhan Patih Gadjah Mada sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia".
Kembali ke halaman depan
Membatasi ekspresi
Saat itu hanya ada kerajaan-kerajan kecil dan belum ada persatuan nusantara. "Maka apa yang dilakukan Gadjah Mada adalah invasi terhadap kerajaan-kerajaan yang lebih kecil," ujarnya.
Warga Bali membawakan tari adat sebagai bagian dari tradisi
Sitok Srengenge juga menyinggung penayangan film G30S/PKI setiap tahun. "Itu penyeragaman kognisi terhadap seluruh siswa di seluruh Indonesia tentant tafsir tentang penyeragaman apa yang terjadi pada 1965 itu," katanya.
Sitok tidak sepenuhnya sepandapat bahwa penyeragaman itu sebagai wujud obsesi Suharto untuk mempersatukan Indonesia secara lebih utuh. "Kenapa integrasi tidak diwujudkan dalam pemerataan kesejahteraan? Kenapa tidak dengan menghargai keluhuran budaya setiap daerah?" tanyanya.
Sementara itu, di Medan, Sumatera Utara, Ben Pasaribu, pengajar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Medan, berpendapat kebijakan untuk standarisasi budaya telah membatasi ekspresi seni lokal.
Itu membuat tidak ada kebebasan dari masing-masing daerah untuk mengekspresikan gaya atau style masing-masing

Ben Pasaribu Universitas Medan
Ben mengangkat contoh berbagai festival teater, musik dan tarian nasional yang digelar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu mengarah ke penyeragaman, mulai durasi, tata cara pentas hingga sumber cerita.
"Semua harus menjadi sama," kata Ben.
"Itu membuat tidak ada kebebasan dari masing-masing daerah untuk mengekspresikan gaya atau style masing-masing, " kata Ben Pasaribu dari Universitas Medan.
Meski demikian, Ben juga melihat kebijakan positif yang ditinggalkan Orba seperti muatan lokal dalam kurikulum. Sayangnya, bahan bacaan itu harus menunggu buku dari Jakarta, katanya.
Kembali ke halaman depan
Cukup bagus
Namun, Prof. Dr. Ellyano S. Lasam, Ketua Majelis Adat Kalimantan Timur di Balikpapan menegaskan, Suharto berhasil dalam mewujudkan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Kita suka tidak atau tidak suka dengan kepemimpinan beliau selama 32 tahun itu, saya kira itu sudah cukup bagus untuk mengembangkan bangsa Indonesia supa berbudaya yang baik itu

Prof. Dr. Ellyano S. Lasam
"Pada prinsipnya, seluruh bangsa Indonesia diharapkan bersatu," katanya.
"Oleh karena itu, satu budaya dengan budaya yang lain, walaupun itu adalah berbeda-beda, yang beliau kehendaki itu semacam kesatuan dan persatuan, bukan penyeragaman," kata Profesor Ellyano.
Menurut Ellyano, budaya Dayak "cukup terakomodir" selama kepemimpinan Pak Harto, meski warga Dayak di daerah pedalaman belum tersentuh.
"Keinginan beliau untuk memajukan seluruh budaya itu menjadi satu kesatuan itu mengarah ke sana," katanya.
"Kita suka tidak atau tidak suka dengan kepemimpinan beliau selama 32 tahun itu, saya kira itu sudah cukup bagus untuk mengembangkan bangsa Indonesia supa berbudaya yang baik itu, " Profesor Ellyano S Lasam.
"Artinya saling menghargai budaya orang lain, saling mengakui kebudayaan orang lain... tidak saling menjegal satu suku dengan suku lain," tandasnya.