Kamis, 31 Januari 2008

Apa Kata Mereka Tentang HM.Soeharto

Tersedot Magnit Suharto
Minggu (27/1) siang sekitar jam 14.30 lewat, saya sedang menunggu siaran “One Stop Football “ di Trans7 ketika tiba-tiba Trans 7 menampilkan breaking news. Saya sudah langsung menebak kalau ini pasti berita tentang kondisi Suharto. Selama hampir sepanjang bulan Januari ini, berita tentang Suharto yang sedang dirawat di Rumah Sakit menjadi main menu di setiap acara bertajuk “News” di semua stasiun TV di tanah air.
Dan benar juga, breaking news siang itu menampilkan berita terakhir tentang kondisi Suharto. Kondisi terakhirnya adalah, Wafat.. Suharto akhirnya tutup usia di hari Minggu 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB. Akhirnya…itu kata pertama yang keluar menyusul ucapan Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un. Yah, akhirnya selesai sudah perjuangan Suharto selama hampir sepanjang bulan Januari ini. Alat-alat canggih buatan manusia yang selama ini membantunya memperpanjang umur beberapa hari sudah tak berkutik lagi melawan titah sang Maha Pencipta.
Kepergian Suharto-bahkan sejak sakit sekalipun-meninggalkan banyak cerita dan kerepotan. Ratusan wartawan dalam dan luar negeri mendadak menjadi Bang Toyib yang tak pulang-pulang ke keluarga mereka karena harus stand by 24 jam di RSPP. Para pejabat dan mantan pejabat juga satu persatu menunjukkan simpati dengan datang membesuk atau sekedar mengirim bunga dan do’a untuk kesembuhan Suharto. Polemik sekitar kasus korupsinya juga merebak bak bunga di musim semi. Singkatnya seluruh perhatian media tersedot ke RSPP memonitor perkembangan kesehatan Suharto, dan ujung-ujungnya masyarakat penikmat media mau tak mau ikut larut mengkonsentrasikan energinya ke RSPP, sebagian bahkan lupa kalau pada saat yang hampir bersamaan, harga kedelai melambung tinggi membuat tempe goreng di warung pinggir jalan naik menjadi Rp. 500,- per potongnya.
Puncak daya tarik magnet besar bernama Suharto itu adalah saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Dari mulai jam 14.00 siang WITA sampai malam hari dan kemudian disambung keesokan harinya (bahkan malam ini saat saya sedang menulis postingan ini) semua stasiun TV berlomba-lomba menayangkan potongan-potongan berita tentang Suharto. Judulnya macam-macam, ada yang “Suharto : in memorian”, “Akhir perjalanan Suharto”, atau apalah namanya..
Senin pagi, mulai jam 7 WITA semua stasiun TV sudah siap-siap untuk stand by menyiarkan proses pemakaman Suharto. Anak saya-Nadaa sempat protes karena kartun kesayangannya (Avatar-the legend of Aang) tidak disiarkan seperti biasa karena Global TV juga ikut-ikutan arus menyiarkan prosesi pemakaman. Oya, mungkin karena seringnya menonton berita di TV, Nadaa yang baru berusia 3 tahun lebih sampai ikut-ikutan berkomentar, “ Bunda..pak Harto meninggal..”, walaupun yakin dia tak kenal dan tak tahu siapa Suharto dan apa itu meninggal.
Tiba di kantor hampir pukul 8 pagi, ternyata di Lobby depan-yang memang ada TV-nya- sudah bersiap beberapa orang karyawan yang terus memantau detik demi detik perkembangan persiapan pemakaman. Saya tidak begitu menghiraukan. Acara ini bagi saya adalah sebuah seremoni biasa yang tidak terlalu menarik. Kematian toh akhirnya akan datang lagi, cepat atau lambat. Hanya saja bedanya karena kali ini yang mati adalah orang yang pernah sangat berkuasa dan kebetulan mati di saat media Indonesia sedang genit-genitnya, maka tak heran segala persiapan pemakamannya yang memang luar biasa itu jadi santapan seragam seluruh media Indonesia.
Lewat pukul delapan dan menjelang pukul sembilan pagi, setelah selesai mengecek imel dan membalas beberapa yang perlu saya melongok ke Lobby, ternyata Lobby sudah makin ramai. Penonton sudah memasuki jumlah 2 digit. Yang membuat suasana makin ramai adalah komentar dari para penonton. Semua tentang Suharto, tentang kenangan-kenangan selama berada di bawah pemerintahan Suharto, tentang proses pemakaman itu sendiri, pokoknya ramai walaupun temanya sama, Suharto.
Saya tidak berlama-lama di Lobby. Siaran televisi yang isinya sama saja dengan siaran kemarin sore dan tadi malam dengan segera membuat saya bosan. Saat meninggalkan lobby dan kembali ke ruangan saya masih bisa menangkap satu-dua komentar dari para penonton. Suasana ini sedikit mengingatkan saya pada acara siaran langsung sepakbola piala dunia 2002, bedanya kali ini tidak disertai dengan teriakan dan sorak sorai penonton.
Kesetiaan para penonton rupanya betul-betul diuji. Perjalanan jenazah Suharto dari Halim Perdana Kusuma ke Adi Sumarmo-Solo memakan waktu yang lumayan lama. Untuk mengisi waktu stasiun TV menayangkan beberapa potongan gambar berisi kenangan bersama Suharto. Cukup lama dan bagi saya membosankan, namun tidak bagi para penonton yang sedari tadi duduk manis depan TV di lobby kantor kami.
Saya sudah beberapa kali bolak-balik ke ruangan kerja, ke smoking room dan ke toilet namun nampaknya para penonton tak surut semangatnya. Makin siang, jumlah penonton makin bertambah.
Menjelang pukul 10 siang, boss kami datang. Beliau hanya ikut bergabung sebentar sebelum akhirnya berlalu entah ke mana. Reaksi para penonton adem ayem saja, agak di luar kebiasaan karena biasanya kerumunan karyawan yang bersantai di jam kerja dipastikan akan langsung terbongkar begitu sang Boss datang mendekat. Menurut analisa saya ada tiga hal yang jadi penyebab ketidakbiasaan ini.
Pertama, karena kematian Suharto adalah sebuah magnet yang sangat kuat sehingga membuat sebagian besar masyarakat Indonesia betah berlama-lama di depan TV menunggu detik-detik jenazah Suharto diturunkan ke liang lahat. Kedua, karena bagi semua karyawan di kantor kami, ini adalah kali pertama menyaksikan prosesi pemakaman seorang mantan presiden. Sebagian dari kami belum lahir saat Sukarno mangkat tahun 1970, sebagian lagi masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian itu dan mungkin juga karena waktu itu kecepatan media belum seperti sekarang.
Nah, analisa ketiga saya adalah karena pada saat bersamaan di lobby kantor kami juga ikut serta sang manager personalia. Beliau juga termasuk dalam deretan para penonton setia yang menantikan detik detik pemakaman. Alasan beliau, kan ndak setiap hari ada acara seperti ini.
Dan akhirnya saya sampai pada kesimpulan kalau ketiga alasan saya itu benar dan saling membenarkan.
Namun ternyata, jumlah penonton yang makin bertambah juga membuat sang Boss agak jengkel. Menjelang pukul 12 siang, saat acara pemakaman belum juga digelar, turun titah dari sang Boss melalui sekertarisnya. Acara nonton bareng harus dihentikan..!!!, semua harus kembali ke kerjaan masing-masing. Maka, tanpa menawar lagi para penonton bubar jalan meninggalkan lokasi nonton bareng. TV dimatikan dan kursi-kursi dibereskan. Dalam sekejap lobby kembali sunyi seperti seharusnya.
Apakah para penonton setia itu lantas langsung menyerah ?. Ternyata tidak saudara-saudara..beberapa orang dari mereka membentuk sebuah komplotan. Secara bergerombol mereka menuju ke sebuah warung makan (tepatnya warung kopi) yang ada di Ruko dekat kantor. Mereka semua itu adalah ibu-ibu dan remaja putri yang nampaknya sangat bersemangat ikut mengantar Suharto hingga ke peristirahatannya yang terakhir. Kalau saja jarak Astana Giri Bangun itu tak harus menyeberang lautan saya yakin mereka pasti akan langsung menuju ke sana. Itu setelah melihat antusiasme mereka.
Akhirnya rombongan “penggemar acara pemakaman” itupun memuaskan hasrat mereka di warung kopi dekat kantor. Mungkin sekalian dengan menyantap suguhan minuman ringan dan cemilan-cemilan. Sebuah antusiasme, fanatisme, ato isme-isme lainnya yang saya kira sangat patut untuk dikagumi. Nampaknya tak ada satupun halangan yang mampu menyurutkan niat untuk mengantar Suharto ke peristirahatannya yang terakhir. Diam-diam saya berdecak kagum pada kegigihan kelompok ini.
Pukul dua siang, rombongan itu kembali ke kantor dengan wajah-wajah penuh kepuasan seakan-akan baru saja pulang mengunjungi salah satu keajaiban dunia. Sebagian dari mereka kemudian menceritakan suasana pemakaman kepada teman-teman lain yang tak sampai “segila” mereka.
Dan begitulah, betapa magnet seorang Suharto ternyata sangat besar. Bukan saja pada masa pemerintahannya yang memaksakan dirinya sebagai pusat gravitasi segala hal yang terjadi di Indonesia, namun juga saat kematiannya yang mampu membuat sebagian orang menjadi betul-betul terseret dalam pusaran pemberitaan tentang dirinya.
Ah, selamat jalan pak..semoga dosa-dosa anda diampuni Yang Maha Pengampun..
Ngintip Ramalan Jayabaya (bag. III): Lengsernya Pres. Suharto Sudah Diprediksi?
Selasa, 22-05-2007 17:49:08 oleh:
Bagus Y Prayitno Kanal: Opini

Masih dalam suasana diperingati lengsernya Pres. Suharto oleh sebagian orang, berikut adalah petikan Ramalan Jayabaya yang "mungkin" ditafsirkan sebagai pertanda kejatuhan penguasa Orde Baru tersebut.
Telah diuraikan sebelumnya pada Bag. I dan II, Jayabaya yang memprediksi pada suatu masa di mana kacau-balau kondisi Indonesia, turunnya moral bangsa, semakin sedikitnya orang yang bertindak benar, sehingga Indonesia terhina di mata dunia, inilah yang disebut Jaman Edan.
Kelanjutannya pada Bag III: Akan adanya penguasa lalim, yang sangat berkuasa yang akhirnya jatuh oleh rakyat kecil. Dan ada suatu masa, di mana muncul sosok yang mampu menuntaskan masalah yang ada di negara ini.
Demikian Petikan Ramalan Jayabaya tersebut :(Dari hasil penafsiran kami dan berbagai masukan. Sebelumnya kami minta maaf jika tulisan ini menyinggung atau menyudutkan kaum tertentu. Mungkin Tulisan ini masih bersifat subyektif, yang masih sepihak)

Mara den titenana,
samangsa tanah Jawa wus mengku ratu,
wus ora bapa pra biyung, titik-ane nganggo kethu bengi,asirah watu geni, pangapesane wanodya ngiwi-iwi jejuluk sarwa ageng edi.
· Maka ingatlah, ketika tanah Jawa mempunyai Pemimpin
· Yang tidak berbapak dan beribu (tidak ketahuan asal-asulnya) tandanya pakai pada malam , ber"kepala api" (sangat berkuasa).
· Kalahnya (kelemahannya) dengan wanita yang melambai-lambai, dikenal kebesarannya dan wibawanya. (=> Apakah kalahnya dengan Megawati kala itu , di mana bisa menggerakkan massa/rakyat ?? )

Ratu digdaya ora tedas tapak palu ne pandhe sisane gurindha ning apese mungsuh setan tuyul, setan anu gundul,
· Penguasa sakti, kebal, akan senjata ( tafsir = sangat berkuasa, tidak mampu digulingkan secara militer, maupun politik)
=> Ingat era Pres.Suharto, yang sangat berkuasa, wibawa, tanpa ada yang bisa mengalahkan kekuasaannya.
· Tapi pengapesannya /kalahnya dengan setan tuyul, setan gundul
· => tafsir : Tuyul ,setan gundul = perlambang rakyat kecil, anak kecil /mahasiswa, ingat Pres Suharto lengser ketika didesak oleh mahasiswa yang berdemo.

bocah cilik pating pendelik ngubengi
omah surak-surak kaya nggusah pitik.
Ratu atine dadi cilik, ngumdamana bala sabrang sing dojan asu.
· Anak kecil memelototi rumah , berteriak-teriak seperti mengusir ayam
· Ratu langsung berkecil hati (ciut nyalinya), memanggil bala bantuan dari seberang yang suka anjing. (meminta bantuan dari kekuatan asing )
· => tafsir : Ingat waktu kejatuhan Pres. Suharto, ketika mahasiswa menduduki rumah rakyat "balai sidang" , berteriak-teriak , meminta Suharto lengser segera.

Ana wong tuwa ahli tapa Ageng, muncul ing tengahing gunung Kendheng,ngrasuk sarwa cemeng, ambiyantu Ratu sing dirubung tuyul nggremeng,pandhita ajejuluk Condro siji Jawa.
· Ada orang tua,pertapa agung, muncul dari gunung Kendheng (=> Gunung yang berada antara Jawa Tengah dan Jawa Timur)
· Berpakaian serba hitam, mambantu penguasa yang dirubung tuyul yang bergumam
· Pandita /pertapa yang bergelar : Candra Satu jawa
·=>tafsir : Ketika pemerintahan sudah kacau balau, muncullah sosok yang akan membantu pemerintah mengatasi masalah, seorang yang tahu benar akan hukum-hukum agama (seorang sufi/pendita/pertapa), yang berpakaian serba hitam =artinya sudah tidak mempunyai keinginan apa-apa, akan menuntaskan masalah pemerintahan dan membawa Nusantara ke arah kejayaan dan kemakmuran.
· =>Siapakah beliau ? Waallaualam.. apakah mungkin belum saatnya kita tahu ....
Ramalan Jayabaya yang ditafsirkan sebagian orang bisa memprediksi kejatuhan penguasa Nusantara di abad 20. Apakah benar atau tidak, tergantung dari penilaian anda semua.
Setidaknya semoga tulisan ini bisa menambah wacana kita semua.
N.B :
Perlu diketahui, ada beberapa petikan Ramalan Jayabaya, yang memprediksi tentang kedatangan bangsa Jepang => digambarkan orang kate bermata sipit, dan akan menjajah Indonesia, seumur jagung. Dulu kita mengira ramalan itu kurang tepat karena umur jagung 3.5 bulanan, yang dicoba ditafsirkan sekitar 3.5 tahun, kurang akurat . Padahal Ramalan itu tidak meleset, baru-baru ini ada penelitian bahwa umur benih jagung bisa tumbuh jika ditanam paling lama adalah 3.5 thn . Nah akurat kan prediksinya
Pro-Kontra HM Soeharto (1)
Sukma: Tiada Maaf
DEREK MANANGKA

(iPhA/Str)
INILAH.COM, Jakarta - “Tiada maaf bagi Soeharto,” kata Sukmawati Soekarnoputri, salah seorang anak almarhum Ir Soekarno, Proklamator dan Presiden ke-1 RI. Ia menyatakan itu dalam wawancara khusus dengan Trans TV menjelang pemakaman Pak Harto, Senin (28/1) pagi.
Meski begitu, Sukma membantah jika disebut dirinya punya dendam terhadap Pak Harto, jenderal yang menumbangkan almarhum ayahnya dari kursi kepresidenanan.
“Biarlah Tuhan yang memberikan keadilan,” kata Sukma. “Tapi,” lanjutnya, “jangan paksa kami memberikan maaf kepada Soeharto.”
Sukma mengingatkan, tidak adil kalau Pak Harto dibukakan pintu maaf sementara yang bersangkutan tidak pernah meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Padahal, katanya, orang yang menjadi korban Pak Harto sewaktu berkuasa masih banyak yang hidup. Tanyailah mereka.
Di mata anggota keluarga Bung Karno, almarhum Pak Harto tidak pantas disebut sebagai pahlawan. Seperti diutarakan Sukma, Pak Harto lebih pantas disebut sebagai pengkhianat.
Sukma mengaku, tidak semua anggota keluarga Bung Karno memiliki pandangan yang sama terhadap Pak Harto. Tapi, bagi Sukma pribadi, Pak Harto tetap tidak pantas diberi gelar sebagai pahlawan.
Salah satu alasan yang disebut Sukma, Pak Harto semasa memimpin Indonesia justru ‘membunuh’ rakyatnya.
Sukma, agaknya, masih menyimpan memori pahit tentang perlakuan yang diterima ayahnya. Terutama saat-saat Bung Karno, ayahnya menderita sakit, menjelang ajal.
Menurut Sukma, salah satu yang membedakannya adalah fasilitas yang diberikan negara atau pemerintah. Saat Bung Karno sakit dan dirawat di rumah, bukan hanya fasilitas medis yang tidak memadai, tim medis dan dokter yang merawatnya pun tidak bisa disebut sebagai dokter ahli.
Salah seorang yang ditugaskan merawat Bung Karno, menurut Sukma, berstatus dokter hewan!
Bandingkan dengan tim dokter yang merawat Pak Harto. Tim medis yang merawatnya, seperti terungkap dalam wawancara Metro TV pada tayangan Minggu (27/1) malam, berjumlah 40 orang dengan status Tim Dokter Kepresidenan. [Bersambung/I3]
Pro-Kontra HM Soeharto (4-Habis)
Bung Karno Tidak Salah
DEREK MANANGKA

(ist)
INILAH.COM, Jakarta - Buku The Indonesian Tragedy tercatat sebagai salah satu penerbitan asing yang membuka borok-borok Pak Harto. Akibatnya, buku karya wartawan Brian May itu selama 30 tahun dilarang beredar di Indonesia.
Apa yang diungkapkan wartawan Amerika yang pernah menjadi koresponden AFP (Agence France Press) di Jakarta itu cukup kontroversial. Setidaknya sebagai pembanding terhadap fakta sejarah tentang peristiwa kejatuhan Bung Karno.
Jika buku-buku sejarah yang ditulis di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Brigjen Nugroho Notosusanto mengedepankan peran-peran positif Pak Harto, wartawan Barat itu seperti membalikkannya.
Tentang keterlibatan Bung Karno, May membantahnya. Menurutnya, saat PKI melakukan kudeta (gagal) pada 1965, Bung Karno sudah berstatus presiden seumur hidup. Jadi, untuk apa Bung Karno mendukung gerakan yang akan menumbangkan kekuasaannya?
Tuduhan bahwa Bung Karno terlibat G.30.S/PKI muncul gara-gara Bung Karno tidak mengutuk peristiwa yang telah menyebabkan tewasnya tujuh jenderal Angkatan Darat (AD). Bung Karno dikutip mengatakan, “.... peristiwa itu ibarat riak-riak kecil dalam gelombang revoulsi...”
Menurut May, pernyataan Bung Karno perlu dibaca dalam konteks statusnya sebagai pemimpin yang pernah mengalami suka duka dan perjuangan panjang. Bung Karno pernah lolos dari berbagai usaha pembunuhan.
Bung Karno lolos dari sergapan Zulkifli Lubis dalam peristiwa Cikinikifli Lubis dan dari tembakan pesawat Mustang oleh penerbang Maukar dari AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Lalu, ancaman Letkol AH Nasution yang menggelar pasukan dan panser di depan Istana Merdeka.
Lubis, Maukar, dan Nasution, semuanya dimaafkan Bung Karno. Mengapa? Karena Bung Karno seorang pemimpin yang pemaaf. Kesimpulannya, Bung Karno tidak punya salah hanya karena tidak mau mengutuk G 30 S/PKI.
Letkol Untung yang disebut sebagai otak pelaku kudeta pun dibedahnya. Dikatakan, perwira pertama TNI AD itu adalah anak angkat Soeharto. Sebagai bukti, saat Letkol Untung menikah di Yogyakarta, yang menjadi saksi adalah Jenderal Soeharto sendiri.
May lantas bertanya jika Untung benar-benar tokoh di balik pemberontakan, mengapa ia langsung dieksekusi oleh rezim Pak Harto? Mengapa tidak dibiarkan hidup untuk keperluan interogasi?
The Indonesian Tragedy tidak percaya dengan tudingan bahwa PKI ingin berkuasa melalui kudeta. Situasi dan kondisi Indonesia pada 1965 untuk menjadi negara komunis disamakannya dengan buah di pohon yang sudah siap dipetik.
Di samping kehidupan ekonomi masyarakat sangat memprihatinkan, keadaan yang krusial cocok dengan kampanye PKI. Kekuatan PKI di parlemen dan kabinet sudah demikian kokoh.
Tokoh-tokoh PKI seperti DN Aidit, Nyoto, dan Nyono yang dikategorikannya sebagai kader komunis pintar, lebih suka merebut kekuasaan melalui konstitusi ketimbang kudeta.
PKI merupakan kekuatan terbesar di parlemen setelah PNI (Partai Nasional Indonesia). Di kabinet Bung Karno, sejumlah politisinya juga menjadi menteri. PKI juga memiliki angkatan ke-5 yang dipersenjatai, yang terdiri atas Pemuda Rakyat dan Gerwani.
PKI jelas ingin memperbaiki citranya sebagai tukang kudeta. Sebab, pada 1948, Muso selaku pimpinan PKI waktu itu, melakukan kudeta (gagal) terhadap Bung Karno.
Sejalan dengan buku The Indonesian Tragedy, Oei Tjoe Tat sebagai salah seorang anggota Kabinet Soekarno juga menulis memoarnya. Oei menjadi tahanan politik selama Pak Harto berkuasa.
Tak lama setelah keluar dari penjara, dalam salah satu bab bukunya, Oei terang-terangan menuding Jenderal Soeharto sebagai otak dari peristiwa G 30 S/PKI. Dari semua jenderal yang dibunuh, kata Oei, hanya Jenderal Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat) yang punya posisi penting. Jenderal lainnya, yang juga diberi gelar Pahlawan Revolusi, tidak punya posisi penting.
“Kalau PKI mau bunuh jenderal, yang paling pantas mereka bunuh justru Pangkostrad Jenderal Soeharto,” tulis Oei.
Tak lama setelah bukunya terbit, Oei Tjoe Tat meningggal dunia. [Habis/I3]

Arsip Supersemar Kemungkinan Disimpan HM Soeharto


KESRA--28 JANUARI: Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Drs Ahmad Adaby Darban SU menyatakan bahwa arsip Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) kemungkinan disimpan oleh Soeharto.
"Soeharto adalah penerima surat perintah tersebut dari Presiden Soekarno, dan dia merupakan pelaku yang terakhir hidup," katanya di Yogyakarta, Senin, menanggapi pro kontra Supersemar 1966 setelah mantan Presiden Soeharto wafat.Oleh karena itu, jika ingin mengetahui fakta sebenarnya soal Supersemar, dokumen yang asli harus dicari dan ditemukan."Dengan ditemukannya dokumen asli Supersemar diharapkan fakta sejarah yang selama ini terkesan samar bisa terungkap jelas," katanya.Ditanya mengenai fakta sejarah yang selama ini banyak `dibelokkan`, ia mengatakan tidak perlu ada pelurusan sejarah sepeninggal Soeharto."Karena pada hakikatnya tidak ada penulisan sejarah yang obyektif, semua tergantung pada pemimpin atau penguasa pada zamannya," kata dia.Meski demikian jika ada fakta baru yang ditemukan, dapat dijadikan fakta tandingan termasuk mengenai Supersemar.Ia mengatakan, Soeharto sebagai warga bangsa mengalami banyak peristiwa sejarah seperti `Serangan Oemoem` dan Supersemar."Sewajarnya Soeharto dihormati, karena bagaimana pun dia berjasa pada bangsa dan negara. Jika kemudian muncul pro kontra, itu juga wajar karena dia manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan," katanya.
Yang beredar palsu?
Pengamat multimedia dan pakar telematika, Roy Suryo berkeyakinan bahwa naskah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang beredar selama ini adalah palsu.
"Saya mengatakan, naskah yang beredar itu palsu," katanya kepada wartawan seusai menghadiri acara malam penganugerahan people of the year 2007 harian Seputar Indonesia di Jakarta, Rabu (16/1) malam.
Dalam kesempatan itu, Roy bahkan membagikan selebaran yang berisi empat buah versi Supersemar yang diberi tanda huruf A,B,C,dan D. Roy kemudian menunjuk perbedaan Supersemar yang menurut dia palsu dan asli.
Dari selebaran tersebut, memang ada perbedaan terutama pada bentuk tanda tangan Presiden Soekarno, tata cara atau justifikasi penulisan spasi, rata kanan-kiri, jarak penulisan antar-huruf pada kata Jakarta di akhir surat, serta adanya logo pada kepala surat.
"Naskah supersemar A,B,dan C sumbernya tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan naskah yang D, ada dalam film selluloid asli yang dimiliki oleh Arsip Nasional Republik Indonesia," kata Roy.
Film selluloid asli milik ANRI juga merekam kejadian bersejarah saat ketiga pejabat militer pembawa Supersemar yaitu Brigjen Amir Machmud, Mayjen Basuki Rachmat, dan Brigjen M Yusuf pulang dari Istana Bogor dengan membawa sebuah naskah kepada Presiden Soekarno. "Awalnya dari sini, entah bagaimana kemudian bisa beredar beberapa naskah," katanya.
Oleh karena itu, Roy menegaskan bahwa tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa yang asli surat yang ada filmnya yang ada pada ketiga jenderal dan itu ada adalah naskah yang D.
Saat pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1966, tambah Roy, juga jelas disebutkan bahwa supersemar sebenarnya bukan pengalihan kekuasaan, melainkan pengalihan pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan, dan perintah pengamanan keselamatan Presiden Soekarno.
"Saya berani menyimpulkan, karena yang lain-lain tidak pernah jelas sumbernya. Tapi, kalau yang D jelas saat surat itu terbit," katanya.
Roy menambahkan bahwa dirinya bukan orang yang pertama meragukan kebenaran supersemar yang beredar. Karena itu, menurut dia , perlu dimulai dari sekarang untuk meneliti dan melakukan verifikasi lebih lanjut oleh sejarawan dan para pakar lainnya. (mo/pd)
Pro-Kontra Penyelesaian Kasus Perdata Soeharto; Jakgung Dapat Mandat SBY Sumber: KR.CO.ID Tanggal:19 Jan 2008
JAKARTA (KR) - Jaksa Agung (Jakgung) Hendarman Supandji akhirnya buka-bukaan tentang kedatangannya menemui putra-putri keluarga HM Soeharto di RSPP Jumat (11/1) dini hari lalu, terkait dengan gugatan perdata. Sekalipun menimbulkan pro kontra atas langkahnya itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji yang bermodalkan surat kuasa Presiden SBY sebagai pengacara negara tidak merasa dipojokkan.
”Saya tidak merasa dipojokkan. Wong itu UU yang saya laksanakan. Tolong dilakukan pendekatan dengan keluarga Pak Harto untuk penyelesaian kasus perdata itu. Kalau perintah penyelesaian kasus perdata, dalam benak saya, itu ketentuan hukum (out of court settlement),” paparnya.
Dalam percakapannya dengan para wartawan seusai rapat kabinet di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (17/1) siang, Hendarman Supandji mengaku tidak tahu soal bantahan keluarga Soeharto yang ingin menyelesaikan kasus Soeharto di luar pengadilan, seperti yang disampaikan pengacara keluarga Cendana.
”Saya tidak tahu. Pokoknya saya ketemu dengan keluarga, Mbak Tutut, Mas Bambang Trihatmodjo, Mbak Titiek dan Mas Tommy. Saya sampaikan kalau saya datang ke sana. Saya kan pegang surat kuasa Presiden sebagai pengacara negara, Jaksa Agung,” tegas Hendarman.
Hendarman mengungkapkan, dalam penyelesaian perdata ada ADR (alternative dispute resolution). Artinya, bila pihak penggugat dan tergugat ada dispute, maka ada penyelesaian di luar pengadilan, seperti arbitrase dan out of court settlement. ”Namun abitrase kan tidak mungkin, sebab dalam perjanjian tidak ada arbitrase. Saya tanya, bagaimana mengenai out of court settlement, yaitu untuk mencapai suatu kesepakatan damai. Itu ada UU-nya. Tapi kan tidak ketemu (soal pemahamannya). Ya sudah kalau tidak ketemu,” jelasnya lagi.
Ditanya lagi maunya Keluarga Cendana itu seperti apa, Hendarman Supandji hanya menjawab, tidak ada yang disampaikan. ”Tidak ada yang disampaikan apa maunya Cendana. Kalau maunya OC Kaligis (pengacara Cendana-red) dikirim surat, seperti bunyi surat kabar, yaitu ingin mencabut surat kuasa tanpa syarat apa pun juga,” jawabnya.
Didesak dengan pertanyaan keinginan damai itu datang dari pemerintah atau kuasa hukum, Hendarman mengaku tidak tahu. ”Saya tidak tahu. Pokoknya saya dapat perintah. Saya pegang kuasa dari Presiden. Kalau saya mengajukan gugatan itu, kalau tidak dapat kuasa dari Presiden, tidak mungkin,” tandasnya.
Soal MaafSementara itu pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais agar memaafkan HM Soeharto dipertanyakan banyak pihak, terutama dari kalangan pemuda. Amien yang disebut sebagai lokomotif reformasi dinilai telah meninggalkan gerbongnya karena memaafkan Soeharto. ”Secara sederhana, Amien Rais ini kan lokomotif yang lupa terhadap siapa saja yang ada di gerbong reformasi. Dia seperti telah meninggalkan gerbongnya. Harusnya Amien bicara dulu dengan orang-orang yang ada di gerbong itu,” kata Koordinator Kontras Usman Hamid seusai diskusi bertajuk ‘Sikap Kaum Muda terhadap Kasus Hukum Soeharto’ di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng Jakpus Kamis (17/1).
Menurut Usman, masyarakat yang ada dalam gerbong reformasi banyak berharap adanya perbaikan, keadilan dan peningkatan kesejahteraan dengan dilokomotifi Amien Rais. ”Pernyataan maaf kepada Soeharto dari mantan Ketua DPP PAN itu sebagai bentuk inkonsistensi terhadap reformasi,” tegasnya.
Amien juga pernah dinilai inkonsistensi dengan membentuk Poros Tengah era Presiden Gus Dur. ”Pak Amien telah gagal menjadi lokomotif dengan membentuk koalisi itu. Konsekuensinya berdampak sampai sekarang. Tujuan-tujuan reformasi jadi tidak tercapai,” cetus Usman Hamid.
Sedang Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah M Izzul Muslimin menyatakan, sakitnya HM Soeharto saat ini telah dijadikan momentum bagi elite-elite politik untuk mencari popularitas. Targetnya menarik simpati masyarakat menjelang Pemilu tahun 2009.
”Ada kecenderungan bahwa para elite politik memanfaatkan sakitnya Soeharto sebagai momentum mengambil simpati. Apalagi dekat dengan Pemilu 2009,” tegas Izzul lagi, sambil menambahkan adanya kecenderungan dari kroni-kroni Orba untuk memancing di air keruh.
”Kecenderungan yang lain, seperti ada upaya dari kroni-kroni Soeharto untuk lari dari jerat hukum dengan mewacanakan penghentian kasus hukum HM Soeharto,” tegas Izzul Muslimin. (Mgn/Sim/Ful/Edi/Imd/Don)-a
Wafatnya Soeharto - Wali Kota: Hormati Jasanya
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengajak seluruh aparatur Pemkot dan segenap masyarakat kota untuk menghormati jasa-jasa mantan Presiden RI ke-2, H.M. Soeharto, yang meninggal dunia pada Minggu (27-1).
Hal itu dikemukakan Wali Kota saat apel mingguan yang dilaksanakan Pemerintah Kota Bandar Lampung Senin (28-1). Bahkan, ia meminta warga memasang bendera setengah tiang, selama satu minggu, sebagai rasa turut belasungkawa.
"Seperti kita ketahui bersama, Minggu (27-1), sekitar pukul 13.10, di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, telah meninggal dunia Presiden ke-2 RI, Bapak H.M. Soeharto. Untuk itu, atas nama pribadi dan Pemkot Bandar Lampung, saya mengucapkan turut berduka cita. Semoga amal ibadah beliu diterima Allah swt. dan amal ibadahnya sebagai khusnul khatimah," kata Eddy dalam upacara bendera, Senin (28-1).
Eddy meminta kepada segenap aparatur Pemkot dan warga Bandar Lampung untuk selalu menghargai dan menghormati jasa-jasa H.M. Soeharto dan memaafkan segala kekeliruan dan kesalahan terlepas dari pro-kontra yang selama ini terjadi. "Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa para pahlawannya," kata dia.
Bahkan, beberapa saat, seluruh peserta upacara yang mengikuti apel bendera juga diminta mengheningkan cipta mendoakan arwah H. M. Soeharto menuju tempat peristirahatannya yang terakhir di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Ketua DPRD Bandar Lampung Azwar Yakub juga mengatakan terlepas dari kesalahan yang telah dilakukan Soeharto, Bapak Pembangunan Indonesia itu juga memiliki jasa besar dalam pembangunan negara ini. Jasa-jasa Soeharto sebagai penguasa Orba selama 32 tahun, begitu banyak dan sudah dinikmati rakyat Indonesia.
"Sekarang, beliau sudah menghadap Yang Kuasa. Paling tidak, kita dapat memaafkan semua kesalahannya dan mengenang jasa-jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan negara ini," kata Azwar.
Sejumlah warga yang ditemui Lampung Post umumnya mengatakan hidup di zaman Soeharto berkuasa, jauh lebih mudah dibanding saat ini. Selain tidak ada gejolak keamanan yang merongrong kewibawaan pemerintah, harga sembako jauh lebih murah dan terjangkau masyarakat.
"Wajar saja kalau Soeharto dan anak-anaknya menjadi kaya raya. Sebab, lebih dari 32 tahun memimpin bangsa ini. Sekarang saja, bupati yang hanya menjabat lima tahun sudah memiliki harta benda yang berlimpah, apalagi presiden," kata Wanti (34), warga Tanjungkarang Barat.
Sedangkan Budi (39), warga Tanjungkarang Timur, mengatakan semasa Soeharto berkuasa, harga sembako sangat murah dan sangat terjangkau oleh masyarakat kelas bawah.
"Sekarang, jangankan membeli beras yang harganya sudah mahal, membeli tempe saja sudah susah. Untuk itu, masyarakat juga harus melihat jasa-jasa mantan presiden itu. Jangan hanya melihat kesalahannya saja," ujar ayah dua anak itu. n KIM/K-2

Pro-Kontra Penyelesaian Kasus Perdata Soeharto; Jakgung Dapat Mandat SBY
19/01/2008 06:02:07 JAKARTA (KR) - Jaksa Agung (Jakgung) Hendarman Supandji akhirnya buka-bukaan tentang kedatangannya menemui putra-putri keluarga HM Soeharto di RSPP Jumat (11/1) dini hari lalu, terkait dengan gugatan perdata. Sekalipun menimbulkan pro kontra atas langkahnya itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji yang bermodalkan surat kuasa Presiden SBY sebagai pengacara negara tidak merasa dipojokkan. ”Saya tidak merasa dipojokkan. Wong itu UU yang saya laksanakan. Tolong dilakukan pendekatan dengan keluarga Pak Harto untuk penyelesaian kasus perdata itu. Kalau perintah penyelesaian kasus perdata, dalam benak saya, itu ketentuan hukum (out of court settlement),” paparnya.Dalam percakapannya dengan para wartawan seusai rapat kabinet di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (17/1) siang, Hendarman Supandji mengaku tidak tahu soal bantahan keluarga Soeharto yang ingin menyelesaikan kasus Soeharto di luar pengadilan, seperti yang disampaikan pengacara keluarga Cendana.”Saya tidak tahu. Pokoknya saya ketemu dengan keluarga, Mbak Tutut, Mas Bambang Trihatmodjo, Mbak Titiek dan Mas Tommy. Saya sampaikan kalau saya datang ke sana. Saya kan pegang surat kuasa Presiden sebagai pengacara negara, Jaksa Agung,” tegas Hendarman.Hendarman mengungkapkan, dalam penyelesaian perdata ada ADR (alternative dispute resolution). Artinya, bila pihak penggugat dan tergugat ada dispute, maka ada penyelesaian di luar pengadilan, seperti arbitrase dan out of court settlement. ”Namun abitrase kan tidak mungkin, sebab dalam perjanjian tidak ada arbitrase. Saya tanya, bagaimana mengenai out of court settlement, yaitu untuk mencapai suatu kesepakatan damai. Itu ada UU-nya. Tapi kan tidak ketemu (soal pemahamannya). Ya sudah kalau tidak ketemu,” jelasnya lagi.Ditanya lagi maunya Keluarga Cendana itu seperti apa, Hendarman Supandji hanya menjawab, tidak ada yang disampaikan. ”Tidak ada yang disampaikan apa maunya Cendana. Kalau maunya OC Kaligis (pengacara Cendana-red) dikirim surat, seperti bunyi surat kabar, yaitu ingin mencabut surat kuasa tanpa syarat apa pun juga,” jawabnya.Didesak dengan pertanyaan keinginan damai itu datang dari pemerintah atau kuasa hukum, Hendarman mengaku tidak tahu. ”Saya tidak tahu. Pokoknya saya dapat perintah. Saya pegang kuasa dari Presiden. Kalau saya mengajukan gugatan itu, kalau tidak dapat kuasa dari Presiden, tidak mungkin,” tandasnya.Soal MaafSementara itu pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais agar memaafkan HM Soeharto dipertanyakan banyak pihak, terutama dari kalangan pemuda. Amien yang disebut sebagai lokomotif reformasi dinilai telah meninggalkan gerbongnya karena memaafkan Soeharto. ”Secara sederhana, Amien Rais ini kan lokomotif yang lupa terhadap siapa saja yang ada di gerbong reformasi. Dia seperti telah meninggalkan gerbongnya. Harusnya Amien bicara dulu dengan orang-orang yang ada di gerbong itu,” kata Koordinator Kontras Usman Hamid seusai diskusi bertajuk ‘Sikap Kaum Muda terhadap Kasus Hukum Soeharto’ di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng Jakpus Kamis (17/1).Menurut Usman, masyarakat yang ada dalam gerbong reformasi banyak berharap adanya perbaikan, keadilan dan peningkatan kesejahteraan dengan dilokomotifi Amien Rais. ”Pernyataan maaf kepada Soeharto dari mantan Ketua DPP PAN itu sebagai bentuk inkonsistensi terhadap reformasi,” tegasnya. Amien juga pernah dinilai inkonsistensi dengan membentuk Poros Tengah era Presiden Gus Dur. ”Pak Amien telah gagal menjadi lokomotif dengan membentuk koalisi itu. Konsekuensinya berdampak sampai sekarang. Tujuan-tujuan reformasi jadi tidak tercapai,” cetus Usman Hamid.Sedang Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah M Izzul Muslimin menyatakan, sakitnya HM Soeharto saat ini telah dijadikan momentum bagi elite-elite politik untuk mencari popularitas. Targetnya menarik simpati masyarakat menjelang Pemilu tahun 2009.”Ada kecenderungan bahwa para elite politik memanfaatkan sakitnya Soeharto sebagai momentum mengambil simpati. Apalagi dekat dengan Pemilu 2009,” tegas Izzul lagi, sambil menambahkan adanya kecenderungan dari kroni-kroni Orba untuk memancing di air keruh.”Kecenderungan yang lain, seperti ada upaya dari kroni-kroni Soeharto untuk lari dari jerat hukum dengan mewacanakan penghentian kasus hukum HM Soeharto,” tegas Izzul Muslimin. (Mgn/Sim/Ful/Edi/Imd/Don)-a

WAPRES MASIH PELAJARI KRITERIA ; Pahlawan untuk Soeharto, Belum Saatnya
31/01/2008 08:36:10
JAKARTA (KR) - Pemerintah memandang saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah penganugerahan berbagai gelar untuk almarhum mantan Presiden Soeharto. Hingga saat ini juga belum ada usulan resmi kepada pemerintah.
“Belum ada usulan resmi dari siapapun. Yang ada baru usulan si A atau si B. Kurang bijaksana bila pada masa berkabung ini banyak orang mempersoalkan masalah penganugerahan gelar-gelar baru kepada Soeharto,” kata Menkominfo Mohammad Nuh kepada pers di Jakarta, Rabu (30/1). Dijelaskan, pemerintah tidak dalam posisi mengusulkan pemberian gelar. Pemerintah adalah pihak yang menerima dan mempertimbangkan usulan dari masyarakat sebelum menganugerahkan gelar-gelar kepada seseorang. Apalagi pemberian gelar kepada seseorang yang dinilai berjasa pada bangsa dan negara juga telah diatur dalam undang-undang. Menurut Mensesneg Hatta Rajasa, berdasarkan UU, pemberian gelar itu harus melalui proses yang cukup panjang. Proses pengajuan seseorang menjadi pahlawan nasional dimulai dari daerah (propinsi) ke Badan Pertimbangan Pahlawan Pusat (BP3) yang dipimpin menteri sosial. Setelah itu diajukan ke DPR RI untuk disetujui. Jika DPR menyetujui, maka nama yang diusulkan itu selanjutnya diajukan ke Presiden untuk ditetapkan berdasarkan Keppres. Sedang penganugerahannya biasanya menjelang Hari Pahlawan 10 November. Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar juga mengaku, pihaknya kini sedang mempelajari kriteria tentang pemberian gelar pahlawan untuk seseorang, termasuk untuk alm HM Soeharto.“Ternyata banyak kriterianya. Kriteria inilah yang sedang saya pelajari kembali, sebelum mengajukan gelar pahlawan bagi almarhum mantan Presiden Soeharto yang dianggap sebagai tokoh pembangunan,” tegas Wapres saat ditanya wartawan usai menghadiri e-government yang berlangsung di DPP Partai Golkar Jl Anggrek Neli Murni Slipi Jakbar, Rabu (30/1).Sementara itu Gubernur Lemhannas yang juga Ketua DPP Partai Golkar Prof Muladi menilai Soeharto layak diberi gelar pahlawan. Sebab sudah sangat berjasa bagi bangsa dan negara. “Beliau kan tidak pernah melakukan tindakan tercela. Tercelanya mana? Semuanya kan praduga tidak bersalah. Jasanya lebih besar dari negatifnya, jadi saya setuju,” tegas Prof Muladi.Menurut Muladi, pemberian gelar pahlawan bagi seorang pimpinan suatu keharusan. “Memang kelemahannya pasti ada. Korban masa lalu pendapatnya juga harus dihormati,” ujar mantan Rektor Undip Semarang itu. Namun Muladi mengakui Pak Harto juga memiliki sejumlah cacat seperti pelanggaran HAM. “Pelanggaran HAM itu merupakan risiko dari perjalanan bangsa. Jadi kita juga harus menghormati korban-korban itu,” ujar mantan Menteri Kehakiman itu. Ditanya lagi adanya perbedaan perlakuan pemerintah saat memberikan gelar pahlawan kepada Bung Karno dan Pak Harto, Prof Muladi hanya mengatakan, “Itu kan beda. Soekarno juga berhak untuk itu karena jasanya terlalu besar,” tandas Muladi lagi. (Mgn/Ful/Sim/Edi/Ati)-n

Supersemar di Buku Sejarah Perlu Ditinjau
31/01/2008 08:36:10 YOGYA (KR) - Sejarawan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta Baskara T Wardaya SJ mengaku sependapat jika ulasan sejarah tentang Supersemar yang ada di buku sejarah perlu ditinjau lagi. Penulis buku ‘Membongkar Supersemar! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno’ ini menilai meski penting, namun akan sulit menemukan kebenaran mutlak dari naskah asli Supersemar, karena tidak diketahui sekarang dimana, sementara pihak penerima sudah meninggal. Baskara yang juga Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PuSdEP) USD, melihat adanya Supersemar sebenarnya hanya sarana saja untuk tujuan yang lebih luas. “Adanya Supersemar saat itu adalah menjadikan negara pro elite, pro modal asing dan anti Soekarno,” kata Baskara. Presiden Soekarno sendiri dalam penjelasannya mengatakan, Supersemar tidak lebih dari memo harian dari Panglima Tertinggi terhadap bawahannya, yaitu Soeharto. Kemudian disinyalir diubah sedemikian rupa menjadi sebuah surat yang arahnya transfer of power atau transfer otority (pengalihan kekuasaan). Padahal maksud dari Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1966, Supersemar bukan pengalihan kekuasaan, tapi langkah yang perlu dilakukan agar kondisi dalam negeri kondusif. Logika sederhananya jika itu merupakan pengalihan kekuasaan seharusnya sejak 12 Maret Presiden Soekarno sudah mundur. Pakar Teknolgi Informasi KRMT Roy Suryo melihat buku sejarah yang ada saat ini memuat Supersemar yang palsu, karena terkesan sebagai bentuk pengalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto. Roy mendasari pendapatnya dari arsip berupa film selluloid asli yang dimiliki Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang pernah ia publikasikan beberapa waktu lalu. Film itu sempat merekam peristiwa bersejarah ketika ketiga pejabat militer pembawa Supersemar, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen M Yusuf pulang dari Istana Bogor. Dalam film selluloid itu sempat terekam naskah yang berbeda dengan Supersemar yang selama ini beredar dalam buku sejarah. (R-1)-b Bukti ini, kata Roy Suryo tidak terbantahkan karena sumber dan dokumennya jelas. Naskah ini yang seharusnya dicari. Bahkan ANRI juga menyimpan film selluloid pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1966 yang mengatakan Supersemar bukan pengalihan kekuasaan. “Naskah yang terekam di film selluloid di ANRI itu yang perlu diteliti dan diverifikasi lebih lanjut oleh sejarawan dan para pakar lainnya secara jujur, tegas dan bertanggungjawab, bukan hanya berceloteh,” kata Roy Suryo. (R-1)-b

WAPRES MASIH PELAJARI KRITERIA ; Pahlawan untuk Soeharto, Belum Saatnya
31/01/2008 08:36:10
JAKARTA (KR) - Pemerintah memandang saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah penganugerahan berbagai gelar untuk almarhum mantan Presiden Soeharto. Hingga saat ini juga belum ada usulan resmi kepada pemerintah.
“Belum ada usulan resmi dari siapapun. Yang ada baru usulan si A atau si B. Kurang bijaksana bila pada masa berkabung ini banyak orang mempersoalkan masalah penganugerahan gelar-gelar baru kepada Soeharto,” kata Menkominfo Mohammad Nuh kepada pers di Jakarta, Rabu (30/1). Dijelaskan, pemerintah tidak dalam posisi mengusulkan pemberian gelar. Pemerintah adalah pihak yang menerima dan mempertimbangkan usulan dari masyarakat sebelum menganugerahkan gelar-gelar kepada seseorang. Apalagi pemberian gelar kepada seseorang yang dinilai berjasa pada bangsa dan negara juga telah diatur dalam undang-undang. Menurut Mensesneg Hatta Rajasa, berdasarkan UU, pemberian gelar itu harus melalui proses yang cukup panjang. Proses pengajuan seseorang menjadi pahlawan nasional dimulai dari daerah (propinsi) ke Badan Pertimbangan Pahlawan Pusat (BP3) yang dipimpin menteri sosial. Setelah itu diajukan ke DPR RI untuk disetujui. Jika DPR menyetujui, maka nama yang diusulkan itu selanjutnya diajukan ke Presiden untuk ditetapkan berdasarkan Keppres. Sedang penganugerahannya biasanya menjelang Hari Pahlawan 10 November. Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar juga mengaku, pihaknya kini sedang mempelajari kriteria tentang pemberian gelar pahlawan untuk seseorang, termasuk untuk alm HM Soeharto.“Ternyata banyak kriterianya. Kriteria inilah yang sedang saya pelajari kembali, sebelum mengajukan gelar pahlawan bagi almarhum mantan Presiden Soeharto yang dianggap sebagai tokoh pembangunan,” tegas Wapres saat ditanya wartawan usai menghadiri e-government yang berlangsung di DPP Partai Golkar Jl Anggrek Neli Murni Slipi Jakbar, Rabu (30/1).Sementara itu Gubernur Lemhannas yang juga Ketua DPP Partai Golkar Prof Muladi menilai Soeharto layak diberi gelar pahlawan. Sebab sudah sangat berjasa bagi bangsa dan negara. “Beliau kan tidak pernah melakukan tindakan tercela. Tercelanya mana? Semuanya kan praduga tidak bersalah. Jasanya lebih besar dari negatifnya, jadi saya setuju,” tegas Prof Muladi.Menurut Muladi, pemberian gelar pahlawan bagi seorang pimpinan suatu keharusan. “Memang kelemahannya pasti ada. Korban masa lalu pendapatnya juga harus dihormati,” ujar mantan Rektor Undip Semarang itu. Namun Muladi mengakui Pak Harto juga memiliki sejumlah cacat seperti pelanggaran HAM. “Pelanggaran HAM itu merupakan risiko dari perjalanan bangsa. Jadi kita juga harus menghormati korban-korban itu,” ujar mantan Menteri Kehakiman itu. Ditanya lagi adanya perbedaan perlakuan pemerintah saat memberikan gelar pahlawan kepada Bung Karno dan Pak Harto, Prof Muladi hanya mengatakan, “Itu kan beda. Soekarno juga berhak untuk itu karena jasanya terlalu besar,” tandas Muladi lagi. (Mgn/Ful/Sim/Edi/Ati)-n

TITIK DAN MAMIEK MAMPIR KE GIRI BANGUN ; Tiga Putri Pak Harto Kembali ke Jakarta
31/01/2008 08:36:10 KARANGANYAR (KR) - Dua putri mantan Presiden Soeharto, Siti Hediyati Hariyadi (Mbak Titik) dan Siti Hutami Adiningsih (Mbak Mamiek) menyempatkan diri berziarah ke Astana Giri Bangun Matesih Karanganyar sebelum kembali ke Jakarta, Rabu (30/1) siang. Kedatangan dua putri penguasa Orde Baru secara mendadak ini membuat kalang kabut pengurus Astana Giri Bangun. Kompleks Astana Giri Bangun yang dibanjiri peziarah sejak pagi terpaksa dikosongkan petugas begitu dua putri Cendana ini datang. Sekitar pukul 11.00 WIB, keduanya masuk ke Cungkup Argosari untuk mendoakan kedua orang tuanya. Selama kurang lebih satu jam, keduanya duduk bersimpuh membaca Surat Yasin dan berdoa di sisi pusara Pak Harto. Sekitar pukul 12.10 WIB, Mbak Titik dan Mbak Mamiek keluar dari area makam dan meninggalkan Giri Bangun naik mobil Toyota Alphard. “Mohon doanya buat Bapak,” katanya singkat. Kepala Pelaksana Harian Astana Giri Bangun Sukirno mengatakan, kedatangan Mbak Mamiek dan Mbak Titik memang tidak direncanakan sebelumnya. Kalau biasanya setiap ada kerabat Cendana akan datang ke Giri Bangun, dirinya selalu dihubungi pihak Dalem Kalitan, tapi kali ini tidak. Dengan kepulangan Mbak Titik dan Mbak Mamiek, berarti seluruh putri Pak Harto telah meninggalkan Dalem Kalitan Solo. Salah seorang petugas keamanan Dalem Kalitan Solo Saryanto mengatakan, kepulangan pertama dilakukan putri sulung Pak Harto, Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut. “Mbak Tutut langsung pulang pada Selasa (29/1) malam, usai mengikuti tahlilan bersama ratusan warga Solo di Pendapa Dalem Kalitan,” ujarnya. Sedang Mbak Titik dan Mbak Mamiek baru meninggalkan Dalem Kalitan pada Rabu siang. Sepeninggal ketiga putri Pak Harto ini, suasana Dalem Kalitan kembali lengang seperti sebelumnya. Namun untuk kegiatan tahlilan tetap akan diadakan seperti biasa, hingga tujuh hari meninggalnya Pak Harto. Sementara itu, suasana di kompleks pemakaman semakin ramai peziarah. (M-1/Has)-b Ratusan peziarah baik dari dalam maupun luar kota terus berdatangan guna menyampaikan doa bagi Pak Harto. Saking padatnya, para peziarah harus rela mengantre untuk bisa masuk ke Cungkup Argosari. (M-1/Has)-b Agar lebih tertib, petugas kemudian membatasi jumlah peziarah yang masuk ke Cungkup Argosari maksimal 50 orang. Setiap rombongan yang masuk ke kompleks, diberi waktu maksimal lima menit. Tapi, karena antusiasme masyarakat cukup tinggi, banyak peziarah yang memakan waktu lebih dari 5 menit. Apalagi banyak peziarah yang sempat mengabadikan berfoto di dalam Cungkup Argosari. (M-1/Has)-b
Bila Memaafkan = Memaksa Soeharto Salah
Ditulis oleh priono subardan di/pada Januari 13, 2008
MAKIN meruncing pro - kontra terhadap keberadaan HM. Soeharto. Ada barisan yang tiba-tiba bersuara lantang menekankan pentingnya memaafkan, tanpa tahu kesalahannya. Barisan lain bersikukuh mengadili, seolah telah memahami persis letak kesalahannya. Sementara sang penguasa Orde Baru, yang menjadi sasaran tembak, masih terbaring kritis di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta hingga saat ini.
Kiranya, kita perlu merenung seribu kali, sebelum larut, sebelum terjebak dalam persoalan yang belum jelas ujung pangkalnya ini. Sebuah pertanyaan mendasar, harus mampu kita jawab sebelumnya. Bukankah memaafkan dan mengadili sebagai kehendak yang bermuara sama. Justru merupakan perlakuan terkeji bagi seseorang, sosok Soeharto, yang juga memiliki jasa atas negeri ini, Indonesia.
Kasus Soeharto memang persoalan bangsa. Itu karena Soeharto bukan si Suto. Itu karena Soeharto bukan si Marhaen. Soeharto bukan rakyat biasa. Soeharto, sosok pilihan bangsa Indonesia, yang pernah berpolitik di jamannya. Maka, kalaupun ada kesalahan, haruskah sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Padahal beliau duduk di singgasana secara legal opinion, memang sebagai yang dipilih. Bukan yang memilih sekaligus dipilih.
Ketika Soeharto menjadi sosok tak berdaya. Ketika senantiasa TV mempertontonkan rintihannya, ada kelompok yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bahwa rakyat Indonesia merasa treyuh, setelah TV lebih dari sepekan mempertontonkan pak Harto dalam kondisi kesakitan, yang selalu dikeributan tim dokter kepresidenan.
Mereka terlalu cepat menilai bahwa rakyat Indonesia, yang sebagian masih buta huruf, pasti merasa iba setelah membaca berita tentang Pak Harto yang tak bisa bicara lagi, yang mulai kesulitan untuk bernafas, dan hanya keajaiban yang membuatnya kembali sediakala.
Setelah berkesimpulan, kemudian tiba-tiba muncul bagai panduan suara, berbagai tokoh menyuarakan perlunya memaafkan pak Harto. Mengagetkan. Kemauan politik apalagi ini. Apa makna dibalik memaafkan itu?. Ini layak dikaji.
Bukankah memaafkan, tanpa mengetahui letak kesalahannya, sama artinya dengan BOHONG. Memaafkan yang serta merta, bukankah terlalu keji untuk ketokohan seseorang. Memaafkan tanpa berdasar, bukankah sama artinya dengan memaksa seseorang untuk mengakui salah. Bahkan seratus persen salah. Tidak ada celah kebaikan atas Soeharto. Benarkah? Apalagi, yang bersangkutan tidak merasa bersalah dan ada kalanya memang, siapapun kadang tidak mengerti bersalah.
Demikian pula gerakan untuk mengadili. Sejauh itukah perlakuan ini terhadap sosok yang pernah membawa Indonesia di atas angin. Ini layak disimak.
DIANIAYAApalagi dalam bahasa politik, tidak selayaknya menelan begitu saja atas maknanya. Seringkali makna yang melekat justru berbalik pada prakteknya.
Kita masih ingat dengan bahasa diamankan. Dalam politik seringkali makna yang terkandung sama sekali tidak menyentuh soal aman atau keamanan. Sebaliknya, justru berartikan dianiaya.
Maka, seyogyanya kita mesti waspada dengan perkataan memaafkan maupun mengadili. Kalau pun makna pada prakteknya sama, dan dijalankan bukan berarti tanpa resiko. Persoalan pro kontra layak diwaspadai untuk makin menguat, dan membuahkan rakyat bingung. Apalagi, pers larut dalam keberpihakan.
Di sisi lain, rasa hormat para generasi terhadap pak Harto, yang bagaimanapun mantan presiden RI, menjadi tidak keruan. Para generasi menjadi lebih sulit memahami gading yang ditinggalkannya.
Para genenerasi juga makin tidak mengerti benang merah sejarah bangsanya. Para generasi lebih tidak mengerti kehidupan politik bangsanya. Maha hebat resiko itu.
TANTANGAN PERSDi sini nurani pers diuji. Untuk membuat suasana nasional tidak lebih rumit adalah tantangan. Pers harus bergandeng tangan dengan penguasa, untuk memberikan pencerahan. Mendudukan persoalan pada posisi yang seharusnya. Demi kepentingan yang satu, nasional. Ini berarti pula menyatukan kemauan politik, untuk bertekad memperlakukan Soeharto sebagai bagian dari sejarah bangsa, sebagaimana adanya.
Dari pak harto, setidaknya masih ada episode yang disanjung oleh rakyat Indonesia. Tentu, atas keberhasilannya. Meski juga masih perlu diklarifikasi letak keberhasilan itu, terkait jika endingnya harus seperti sekarang. Hutan menjadi rusak. Negara menjadi tak berdaya oleh beban hutang, yang juga belum berkesudahan.
Dari pak Harto, juga ada episode yang dibenci oleh rakyat Indonesia. Konon tentang korupsi, yang juga layak dibuktikan. Sejauh mana kebenarannya? Toh yayasan Supersemar yang memberikan beasiswa bagi keluarga tidak mampu, memang nyata adanya.
Dari pak Harto, juga masih ada episode yang samar, yang ingin diketahui rakyat secara gamplang perihal proses ketokohannya. Konon membawa korban sebagian jiwa dan raga putra-putri pertiwi. Ini juga perlu diketengahkan, sebagai bagian dari sejarah bangsa, yang memang demikian adanya. Sekaligus sebagai obat atas dendam dan pemahaman, peristiwa lampau, yang mungkin memang ada dan menyakitkan bagi keluarga korban.
Jika semua episode dari pak Harto tersirat jelas dan memang semua pihak bertekad satu, demi kepentingan nasional, demi bangsa, demi generasi, niscaya HM. Soeharto pun tidak akan kehilangan rasa hormat. Rakyat Indonesia pun masih akan menyanjung atas gading yang ditinggalkannya, meski gading itu tak utuh lagi.
Kalau pun ada masa lalu yang kelam, kemudian dapat dilihat transparan, itu akan lebih melegakan dan sebagai warna dari perjalanan anak manusia, yang memang harus diketengahkan, dimaklumi dan diterima apa adanya. Dengan demikian, tiidak ada lagi kasak-kusuk, yang justru merugikan kita semua. Semoga Indonesia segera bangkit. dan menjadi bangsa yang besar, sebagaimana potensi yang dimiliki. (*)

SBY: Stop Polemik Pak Harto
Minggu, 13 Januari 2008
Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada semua pihak untuk menghentikan polemik tentang masalah hukum mantan Presiden Soeharto yang saat ini masih terbaring sakit. Penyelesaian kasus perdata Pak Harto di luar pengadilan menurut kepala negara bukan menjadi prioritas saat ini. "Mari kira hentikan polemik, debat, silang pendapat yang kurang bijak dan kurang tepat diangkat saat ini," kata Presiden SBY di kediamannya di Cikeas, Bogor, Sabtu (12/1). Khusus masalah perdata mantan Presiden Soeharto, Yudhoyono mengaku mengikuti perkembangan terakhir dimana telah terjadi ajang debat publik, pro kontra di berbagai forum. "Sesungguhnya saya tetap memandang tidak tepat membicarakan masalah itu dalam keadaan pak Harto seperti sekarang ini," ujarnya.Presiden juga membantah adanya komentar yang seolah-olah pemerintahlah yang berinisiatif melakukan langkah penyelesaian kasus perdata mantan Presiden Soeharto.Pemerintah berpendapat hal itu bukan merupakan prioritas dalam beberapa hari ini. Presiden menegaskan tidak ada keingingan pemerintah untuk memaksakan sesuatu yang tidak tepat."Pemerintah berpendapat, pada saat yang tetap itu semua bisa dibicarakan untuk mendapatkan penyelesaian yang terbaik, tetap dalam koridor hukum dan keadilan," katanya.Dengan demikian, amat mungkin dicari cara penyelesaian terbaik yang menyangkut isu perdata itu.Presiden meminta rakyat Indonesia untuk mendoakan mantan Presiden Soeharto dan meminta rakyat untuk menghentikan pernyataan yang dinilai jauh dari kearifan sebagai suatu bangsa. Dikatakannya, Pak Harto sebagai pemimpin sudah melakukan capaian dan karya yang tidak sedikit terutama dalam bidang pembangunan nasional.Diakuinya, Pak Harto memiliki kekurangan dan kesalahan. "Namun itu tidak menghalangi kita untuk memberikan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap jasa dan pengabdian beliau," kata Presiden Susilo.Menurut Presiden, keikhlasan berterima kasih dan menghormati para mantan pemimpin menunjukkan budi pekerti yang baik.Sebelumnya Presiden mengadakan rapat dengan beberapa anggota kabinetnya. Selain Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga hadir dalam rapat itu Menkopolhukkam Widodo AS, Mensesneg Hatta Radjasa, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jendral Soetanto, Panglima TNI Djoko Santoso dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.Rapat tersebut dimulai sekitar puku l1.30 WIB dan berakhir sekitar 16.30 WIB. Rapat dimulai beberapa saat setelah Presiden dan ibu Ani Yudhoyono tiba di kediaman pribadinya dari bandara Halim Perdana Kusumah usai lawatan ke Kuala Lumpur, Malaysia.Tawaran 'Damai' Sementara Kuasa hukum mantan presiden Soeharto, OC Kaligis mengatakan keluarga Soeharto menolak untuk membicarakan tawaran presiden Yudhoyono karena saat ini kondisi Pak Harto masih parah."Mengenai tawaran Presiden Yudhoyono, keluarga mengatakan bukan waktunya mereka membicarakan hal itu, karena keadaan pak Harto sedang sakit sekali," katanya di RS Pertamina, Sabtu. Dan jika presiden serius menawarkan hal ini, lanjut Kaligis sebaiknya pihak Kejagung mengirimkan surat resmi kepada keluarga Soeharto."Kalau misalnya tawaran ini benar mesti dibicarakan dengan tim pengacara. Tawaran itu musti ada suratnya dari Kejagung kepada kita, keluarga dan tim pengacara." katanya.Tawaran Presiden Yudhoyono untuk berdamai mengenai kasus perdata Soeharto disampaikan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat membesuk Pak Harto Sabtu dini hari setelah mendapat petunjuk dari Presiden Yudhoyono, yang saat itu sedang berada di Malaysia.Presiden Yudhoyono meminta Hendarman agar melakukan pendekatan kepada Soeharto dan keluarganya dan mencoba menyelesaikan masalah perdata mantan penguasa orde baru itu dengan cara di luar pengadilan (out of court settlement)."Arahnya jadi menuju ke win win solution," kata Jaksa Agung.Pengadilan KilatSementara, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) mendukung proses hukum terhadap Pak Harto dengan menggelar pengadilan kilat.Penegasan itu disampaikan Ketua DPP PAN Soetrisno Bachir di Sidoarjo, Jatim, Sabtu (12/1), saat dimintai komentarnya terkait desakan hukum kepada mantan Presiden yang pernah berkuasa selama 32 tahun lebih tersebut."Partai mendukung proses hukum in absensia (Pengadilan Kilat) terhadap mantan Presiden HM Soeharto namun jangan dipolitisir," kata Soetrisno Bachir saat meresmikan Koperasi Biru DPW PAN Jatim di Tanggulangin Sidoarjo.Menurutnya, kalau nantinya status hukum akhirnya menyatakan HM Soeharto divonis bersalah, Presiden kedua RI ini segera diampuni mengingat jasanya sangat banyak bagi bangsa dan negara Indonesia.Namun, jika dalam proses hukum itu HM Soeharto tidak bersalah, pihaknya akan mengucapkan Alhamdullih dan HM Soeharto diharapkan "Khusnul Khotimah". "Ampunan kepada Pak Harto harus diberikan agar nantinya berakhir dengan baik," katanya.Sutrisno Bachir mengharapkan jangan ada lagi sejarah kelam terhadap mantan pemimpin Indonesia seperti halnya Bung Karno yang "dikuyo-kuyo" selama HM Soeharto memerintah selama tiga dekade.Sebelum meresmikan koperasi biru muda, DPW Barisan Muda PAN Jatim dan Soetrisno Bachir juga memanjatkan doa keselamatan HM Soeharto agar secepatnya sembuh dan bisa "Khusnul Khotimah".Mantan TapolPengampunan juga datang dari mantan tahanan politik (Tapol) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden Soeharto di tahun 1993, Munasir Huda."Sebagai sesama manusia, saya bisa memaafkan kesalahannya dan mudah-mudahan kesehatannya segera kembali pulih," katanya saat ditemui di kantor Aliansi Pembelaan Hak Rakyat untuk Keadilan (Alha Raka) di Jalan Kapten Tandean Kediri, Jawa Timur, Sabtu petang.Namun demikian, Huda mendesak kepada aparat penegak hukum, untuk tetap melanjutkan proses hukum yang dihadapi Presiden Kedua RI yang berkuasa hingga 32 tahun itu."Jangan sampai proses hukum dihentikan, karena kalau sampai itu terjadi, justru akan menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia," kata Koordinator Program Alha Raka itu.Ia juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk terus mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar Soeharto.Munasir Huda adalah satu dari 21 mahasiswa yang ditahan pada 14 Desember 1993 lalu setelah berunjukrasa di gedung DPR untuk mendesak MPR segera menggelar Sidang Istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto terkait peristiwa penembakan warga sipil dalam pembebasan lahan Waduk Nipah, Madura.Hal senada juga diungkapkan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mengimbau para pemuda di negeri ini untuk memaafkan segala kesalahan masa lalu yang pernah dibuat oleh mantan Presiden Soeharto."Ini (menjenguk) merupakan bentuk simpatik kami sebagai pemuda, kami juga sudah mengimbau kepada seluruh pemuda di Indonesia untuk memaafkan (Soeharto)," tuturnya usai menjenguk Pak Harto kemarin.Kasus Priok Sementara itu, Abu Bakar Ba`asyir mengingatkan agar kasus-kasus seperti pembunuhan ratusan umat Islam di Tanjung Priok dan Lampung yang diduga melibatkan Soeharto, segera diselesaikan sebelum mantan presiden itu wafat.Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu menyarankan agar kasus-kasus itu dituntaskan menurut hukum Qisas berdasarkan undang-undang syariah dan bukan dengan hukum undang-undang negara."Bagaimanapun pembunuhan di Tanjung Priok dan Lampung, tetap ada penyelesaian hukumnya demikian juga kasus-kasus yang lain (korupsi). Kalau tidak diselesaikan, nanti diakhirat berat pertanggungjawabannya," kata Ba`asyir, usai memberikan ceramah dalam Tabligh Akbar Umat Islam se-Bangka Belitung, di Pangkalpinang, Sabtu.Hukum Qisas dimaksud adalah permintaan maaf kepada keluarga yang dibunuh dan keluarga yang memaafkan selanjutnya dikasih ganti rugi.Ganti rugi sesuai ketentuan agama dikaitkan dengan seekor onta dan dihitung dalam uang dinar. Bila dirupiahkan atas pembunuhan di Tanjung Priok, Soeharto harus membayar ganti rugi miliaran rupiah untuk keseluruhan ahli waris.Harusnya penyelesaian secara qisas itu diselesaikan jauh-jauh hari, tapi menurut ustadz Ba`asyir, tidak ada keluarga yang mengingatkan.Untuk kasus korupsi penyelesaiannya bisa dianggap hutang piutang. Ba`asyir juga menyarankan agar Soeharto bertobat atas kekeliruannya dan masuk Islam lagi, menjadi orang baik.Apa yang telah diperbuat Soeharto diwaktu lampau seperti menerapkan asas tunggal Pancasila bagi partai politik telah mengeluarkan dirinya dari Islam."Mumpung masih sadar, minta tobat lah. Yang paling berat nantinya sulit di akhirat, Naudzubillah," ujarnya.(sm/ant/kcm/mt/ti/lp)
Praktisi Hukum: HM Soeharto Tak Dapat Lagi Diadili Secara Hukum
Sumber:
Antara: 21/01/08 21:58
Jakarta (ANTARA News) - Para praktisi hukum dan pengamat sependapat bahwa mantan Presiden RI HM. Soeharto sudah tidak dapat lagi diadili secara hukum, baik pidana maupun perdatanya.Pendapat itu merupakan rangkuman pendapat dari para praktisi hukum seperti, Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, OC Kaligis, Prof. M. Assegaf, Dr. Muhammad Mustafa, dan Kriminolog, Mulyana W. Kusumah dan pengamat politik dari UGM, Muhammad Fajrul Falaakh, dalam diskusi publik yang diadakan Seven Strategi Studies/SSS di Jakarta, Senin.Menurut Abdul Rahman Saleh, kasus HM. Soeharto, baik dalam perdata maupun pidana, sesungguhnya sudah final dengan keluarnya Putusan Pengadilan, Mahkamah Agung, yang menyebutkan, HM. Soeharto tidak dapat disidangkan karena sakit secara permanen.Tiga kewenangan kejaksaan adalah, menerbitkan Surat Pemberhentian Perkara/SP3, deponeering sebagai hak oportunitas Jaksa Agung dan menerbitkan SKP3/Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan."Ketika itu, saya sebagai Jaksa Agung tepatnya pada 12 Mei 2006 memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, untuk mengeluarkan SKPPP," katanya, seraya menambahkan, perintah itu untuk memberikan kepastian hukum kepada mantan Presiden Soeharto.SP3 atau SKPPP dikeluarkan oleh Kejaksaan, kemudian digugat dan dipraperadilankan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Pengadilan Memenangkan gugatan itu. Setelah itu para pengacaranya Soeharto melakukan banding dan dimenangkan, sampai ke tingkat Mahkamah Agung, karena Soeharto dinyatakan tidak dapat lagi dilakukan pemeriksaan.OC. Kaligis juga menyatakan, ketika Pak Harto masih sehat dan dipanggil pihak pengadilan, dia menjawab semua pertanyaan itu, antara lain menyebutkan, semua yang dilakukan itu tidak ada satu pun Keputusan Presiden yang bertentangan dengan Undang-undang atau melampaui dari UU, karena sebelum ditandatagani, sudah melewati tahapan pembahasan oleh para menteri atau departemen terkait.Oleh karena itu, kata OC.Kaligis, dalam hal kasus pidana, HM. Soeharto sudah dinyatakan final, sedang untuk perdata sesungguhnya tidak ada yang dilanggar karena untuk yayasan itu yang bertanggung jawab semestinya para pengurusnya juga wajib bertanggung jawab."Semua asset yang terkait dengan beberapa yayasan, sudah diserahkan kepada pemerintah pusat atau kepada pemerintah daerah," kata OC. Kaligis.Sementara itu, Prof. Muhammad Mustofa mengatakan, pelaksanaan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat.Hukum pidana dan KUH Perdata yang ada di Indonesia adalah warisan dari kolonial. Oleh karena itu, kata Mustofa, janganlah melanggengkan hukum warisan penjajah karena hal itu tidak akan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.Soeharto, secara hukum sudah final, tidak dapat diadili, karena adanya penyakit yang permanen, karena itu, sudah sewajarnya, sebagai orang timur dapat memaafkan semua perbuatan yang dianggap salah selama menjabat sebagai presiden.Diskusi dengan tema Dialog Nasional Penyelesaian Perkara Mantan Presiden HM. Soeharto Dalam Perspektif Hukum dan Politik itu, diselenggarakan oleh Center For Law, & Order Studies dengan menggandeng LSM SSS.Hadir dalam diskusi itu antara lain, mantan Ketua Komnas HAM, Letjen Syamsudin, Mantan Menteri Koperasi Subijakto Tjakrawirdaya, dan sejumlah pengacara dan LSM.(*)Copyright © 2008 ANTARA